Mozaik 1 Lima Ratus Ribu

“Di!”

Keilana menepuk pundak Madi yang sedang buang air di batang pohon.

“Adoooohh!!!” teriak Madi.

“Eh?! Kenapa lo?!” panik Keilana.

Pemuda berambut cepak itu meringis sambil membenahi celananya. Setelah itu, ia berbalik dengan wajah super masam.

“Masa depan gue kejepit! Kampret lu!” maki Madi.

“Kok jadi gue?!”

“Lagian lu ngapa sih nyamperin gue yang lagi pipis? Ngagetin orang aje.”

Bibir Keilana mengerucut. “Gue mau ngurusin berkas buat daftar kuliah. Hari ini gue gak ikut ngamen dulu, ya.”

Kekesalan di wajah Madi memudar. Ia terdiam sejenak sembari menghela napas. Terus terang, ia bangga pada semangat Keilana. Namun di sisi lain, ia prihatin dengan kondisi keuangan teman dekatnya itu. Ya, mirip-mirip lah dengan kondisinya. Ia dan Keilana adalah contoh nyata dari kaum marginal yang kesulitan mendapatkan pendidikan karena faktor biaya.

“Lu udah yakin mau kuliah?” tanya Madi memastikan.

Anggukan kuat Keilana menjawabnya.

“Gue udah nabung setahun. Cukuplah buat biaya pendaftaran.”

“Terus uang kuliahnya ada?” selidik Madi.

“Enggak.”

Seperti dugaan Madi,  Keilana hanya modal nekat. Jangankan uang kuliah, sejak SD hingga SMA saja mereka mengenyam pendidikan di sekolah khusus untuk anak jalanan. Gratis. Sekali lagi, G-R-A-T-I-S.

“Tapi gue kan daftar ke kampus yang ada ikatan dinas. Kuliahnya gratis kok. Langsung dapet kerja lagi. Makanya lo doain gue, yak! Yang penting gue keterima aja dulu.”

“Iye!”

“Yodah, gue cabut dulu,” pamit Keilana dengan wajah sumringah.

Gadis itu berjalan cepat sembari bernyanyi kecil menuju pinggir jalan. Tangan kirinya merogoh saku. Berusaha mengambil beberapa lembar uang dua ribuan kumal untuk membayar angkot. Sayangnya, ia kesulitan karena sakunya terlalu penuh oleh uang yang akan ia gunakan untuk pendaftaran kuliah. Langkahnya terhenti sejenak. Kali ini, ia mengeluarkan semua uangnya agar lebih mudah menemukan lembaran dua ribuan kumal itu.

“Wah, banyak duit nih!”

Suara cempreng seorang laki-laki membuat kepala Keilana mendongak. Laki-laki kerempeng itu tertawa dengan gigi kuningnya. Dua laki-laki lain menatap uang di genggaman Keilana dengan mata lebar, seolah sudah seabad tidak bertemu rupiah.

Buru-buru Keilana memasukkan uangnya kembali ke dalam saku. Tanpa pikir panjang, ia berlari menuju jalan raya. Namun gagal karena si kerempeng bergigi kuning itu keburu menjegal kakinya.

“Awww!!!” pekik Keilana kesakitan.

Gadis itu tersungkur. Meringis kesakitan sembari mencoba bangkit. Baju putihnya—sengaja ia kenakan demi pendaftaran  kuliah—kotor oleh tanah dan debu. Belum sempat ia berdiri, si kerempeng itu merogoh saku dan mengambil seluruh uangnya. Refleks, Keilana mencengkeram tangan lelaki kerempeng itu. Sialnya, salah satu teman lelaki itu menjambak rambut panjangnya hingga tubuhnya tertarik ke belakang. Tangan lelaki itu mengunci lehernya.

Cengkeramannya terlepas. Uang lima ratus ribunya melayang.

“Diem! Lu sayang nyawa ape duit?!” ancam lelaki tambun itu melotot.

Keilana kembali meringis kesakitan. Ia memutar otak, berusaha menemukan celah untuk melepaskan diri dari jambakan. Sebuah ide brilian melesat dalam pikirannya. Di detik selanjutnya….

“AAAAARRRGHHHH!”

Lolongan lelaki tambun itu menghantam telinganya. Gigitan super Keilana membuat jambakan itu terlepas. Tidak menyiakan kesempatan, Keilana melesat kabur.

Tappp!

Lagi-lagi gagal! Si kerempeng itu mencengkeram tangannya.

“Cari gara-gara lu?!”

“Lo yang cari gara-gara duluan!” semprot Keilana.

“Apa sih ribut-ribut?! Ngalangin jalan mobil gue aja!”

Tiba-tiba suara asing ikut tersempil di antara pertikaian itu. Sontak ke empat manusia yang tengah bertikai itu menoleh ke arah sumber suara. Di sana—sekitar lima meter dari mereka—berdiri seorang pemuda tampan berpostur tinggi tegap.

“Woy! Tolongin gue!” teriak Keilana.

Tanpa pikir panjang, ia menghempaskan cengkeraman si kerempeng sebelum akhirnya berlari ke arah pemuda tampan itu. Masa bodoh dengan uang. Yang penting ia harus menyelamatkan diri dulu.

“Masuk mobil, sekarang,” perintah pemuda itu yang langsung diangguki oleh Keilana.

“Nggak usah ikut campur lu, Bocah!” sambar si tambun.

Pemuda itu tersenyum sinis.

“Lo ngalangin jalan mobil gue, masa gue disuruh diem aja? Presiden lo?” balasnya langsung berbalik menuju mobil tanpa menunggu ocehan dari tiga cecurut kampungan itu.

Dengan wajah tanpa dosa, ia menyalakan mobil dan bersiap menginjak pedal gas. Oh, tentu saja ketiga preman itu tidak diam saja. Mereka langsung menyerbu dan memukul-mukul mobil dengan kasar. Sayangnya, pemuda bernama Biru itu tidak peduli. Ia tetap menginjak pedal gas hingga menyerempet ketiga preman itu tanpa ampun.

Keilana bergidik ngeri.

Ia menatap Biru dengan sorot mata shock. Sementara itu, Biru hanya mempersembahkan wajah datar—kalau tidak bisa dibilang dingin—sambil terus menyetir mobil berwarna putih mengkilapnya.

Lambat laun, sorot mata shock itu berubah menjadi sorot mata penuh kekaguman. Keilana semakin tertegun. Tersedot oleh pesona sang penolong yang rupawan. Baru kali ini ia melihat sosok manusia tampan secara langsung, di depan mata—dengan jarak sedekat itu. Setiap milimeter wajah Biru membuat kekagumannya kian melesat tinggi. Kulit bersih, batang hidung tinggi, mata yang setajam katana… semuanya menawan. Mata Keilana pantang berkedip ketika Biru merapikan rambut sambil menyetir. Seketika ia merasa Biru melakukannya dengan gerakan slow motion, lalu berpadu indah dengan efek blink blink dan musik aesthetic.

Ahhh, indah. Sangat indah….

Dada Keilana berdebar.

Demi tujuh lapis langit, ia sangat menyukai manusia di hadapannya saat ini!

“Kenapa lo? Nggak pernah liat yang ganteng?”

Khayalan Keilana runtuh seketika. Buru-buru ia mengibaskan tangan.  “Enggak kok! Enggak! Bukan gitu!”

“Terus?”

“Makasih udah nolongin gue.” Alibi halus keluar dari bibir Keilana. 

“Siapa yang nolongin lo? Gue cuma nggak suka jalannya kehalang.”

Bibir Keilana mengerucut. “Tapi gue ngerasa ketolong. Makasih.”

Biru tidak menjawab. Ia terus melajukan mobil hingga terhenti oleh lampu merah. Ia menurunkan kaca jendela dan membuka kunci pintu mobil.

“Turun.”

“Hah?” Mata Keilana membesar.

“Turun dari mobil gue. Gue buru-buru,” ulang Biru tanpa memandang Keilana.

“Oh.” Keilana hanya membulatkan bibir dan bergegas turun dari mobil Biru. Ia mencoba tersenyum dan melambaikan tangannya dari trotoar. “Maka—“

Ucapan itu terpotong karena kaca jendela menutup. Mobil itu pun kembali melaju, meninggalkan Keilana dengan baju putih kotornya di pinggir jalan. Meski begitu, senyum Keilana tidak pudar. Sikap dingin pemuda tadi tidak membuatnya berburuk sangka. Sang penolong hanya sedang terburu-buru. Ia percaya Biru adalah orang baik. Ia adalah malaikat tampan. Buktinya, pemuda itu mau menolong Keilana yang bukan siapa-siapa.

Keindahan rupa dan sikap berani Biru kembali membuat jantungnya berdebar. Berharap suatu hari nanti semesta mempertemukannya kembali dengan sang penolong. Harapan itu membuat senyumnya melebar.

Sepertinya ia lupa telah kehilangan uang lima ratus ribu.

2 thoughts on “Mozaik 1 Lima Ratus Ribu”

  1. Pingback: Manoj Punjabi - Prologue

  2. Pingback: Manoj Punjabi - BiruLana

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *