Mozaik 11 Kulminasi

Keilana berhasil meloloskan diri dari perang di Sabtu malam. Namun bukan Biru namanya jika menyerah tanpa pembalasan apapun. Semesta pun memutuskan untuk mempertemukan Biru dan Keilana kembali dalam sebuah drama siang hari ini. Tepatnya di kantin kampus yang cukup ramai itu.

Gadis manis itu tengah menunduk, khidmat menikmati sepiring nasi goreng seafood yang masih setengah piring. Tiba-tiba….

Plekkk!!!

Sebuah garpu menusuk nasi gorengnya dengan keras. Mata Keilana sampai melotot karena terkejut. Ia mendongak. Well, yeah… Biru di sana. Memegangi garpu dengan wajah tampan sadisnya. Entah kenapa, Keilana tidak terkejut untuk bagian yang itu.

“Lo tau apa yang lebih sampah dari semua sampah di dunia?”

“Gue nggak pengen tau,” sahut Keilana singkat sebelum meneguk air mineral.

“Elo.”

“Lo budeg? Gue bilang, gue nggak pengen tau. Gue nggak butuh jawaban.”

“Nggak pernah denger kalimat pernyataan?”

“Nggak pernah denger kalimat penolakan?” balas Keilana jengkel. Ia bangkit sambil mengenakan tasnya. “Gue ada kelas. Lo berantem aja sama nasi goreng.”

Tappp!

Biru mencengkeram lengan Keilana. “Melarikan diri?”

“Gue udah capek berantem.”

“Kita belum selesai, Keilana,” desis Biru tajam. Ia melirik pakaian gadis itu sebelum berkata lagi, “Lo pakek baju gue lagi? Bukannya gue udah suruh buang?”

“Oh….” Keilana memandangi kaos di tubuhnya. “Mubazir. Lagian nyaman, mana mahal banget. Sayang kalo dibuang.”

Pemuda itu tersenyum sinis. “Sekali mata duitan, tetap mata duitan.”

“Jangan mulai lagi.”

Suasana di kantin mulai riuh. Pengunjung lain hanya melihat keributan di sana tanpa melakukan apapun. Tidak ada yang mau ikut campur. Lagipula percuma. Yang bisa menghentikan Biru hanya Zara, Riga, dan ayahnya.

“Oh, oke. Terus gue harus bilang apa? Lo sengaja simpen baju itu karena lo diem-diem suka sama gue? Gitu?” sindir Biru.

“Oke!” sahut Keilana menyerah.

“Oke apa? Lo beneran suka sama gue?” kejar Biru.

“Iya. Gue emang suka sama lo, Albiru Kavi.”

Seketika suasana di kantin senyap mendengar pengakuan Keilana.

Namun keheningan itu hanya berlangsung sejenak. Di detik berikutnya, bisikan para pengunjung kantin memenuhi telinga. Perlahan, sorot mata Keilana menajam, memandang Biru dengan kesal. Sementara itu, Biru masih bertahan dengan ekspresi dinginnya yang mampu menggetarkan hati dan jiwa kaum hawa.

Tiba-tiba Biru mendengus.

“Siapa yang suruh lo suka sama gue? Nggak sadar diri lo?”

“Siapa lo berani ngatur hati gue?!” balas Keilana berapi-api.

“Masih nanya? Perlu gue tulis di jidat jenong lo kalo gue ini anak pemilik kampus? Idup lo juga bisa gue atur. Gue bisa bikin lo menderita.”

“Hahahaha!” tawa Keilana tiba-tiba membahana di seantero kantin.

Tanpa ragu, ia mendekati dan menepuk pundak pemuda itu. Sontak Biru menepis dengan kasar. Tawa itu mendadak terhenti. Keilana memandang Biru tajam.

“Lo bego?! Gue—suka—sama—elo?! Elo bener-bener percaya?!”

Ia mendorong bahu Biru.

“Lo denger baik-baik. Gue emang miskin, tapi suka sama elo adalah hal ter-enggak mungkin yang bakal gue lakuin. Lo ngarep gue ngejar-ngejar lo kayak cewek lain? Nggak akan! Harga diri gue lebih tinggi dari Monas. Gue nggak akan rendahin diri buat cowok yang sombongin harta orang tua macem lo! Bisa apa lo selain cari masalah? Nggak ada! Modal tampang doang songongnya udah kayak yang punya Indonesia!”

Wajah Biru merah padam. Tangannya nyaris mendarat di pipi gadis itu.

“BIRU!!!”

Biru dan Keilana serentak menoleh. Seluruh atensi tersita pada seorang pemuda yang baru datang. Dia adalah Riga. Sementara itu, tangan Biru urung melayang. Ia melepas cengkeramannya dari lengan Keilana.

Riga mendekati keduanya dengan wajah marah. Bergantian memandang Biru dan Keilana, bingung kenapa keduanya bak Palestina dan Israel—konflik tiada henti. Ia tidak mengatakan apa-apa. Hanya merogoh ponsel dan menghubungi seseorang.

“Halo. Papa di mana?”

“Di rumah.”

“Riga ke sana ya sekarang. Penting.”

Klik.

Usai mengakhiri panggilan, ia menunjuk Biru dan Keilana. “Lo berdua, ikut gue sekarang.”

♪♫♪    

Bibir Keilana nyaris tidak bisa menutup. Ia bersumpah, ini adalah rumah termewah yang pernah ia kunjungi. Gerbangnya saja canggih dengan pengamanan ketat. Mobil yang terparkir di luar ada empat. Lalu pintu masuk rumah… sumpah demi kolor hijau Patrick, baru kali ini Keilana melihat rumah yang tidak memerlukan kunci. Riga hanya menempelkan telunjuknya, dan walla! Pintunya terbuka.

“Nggak pakek kunci, Kak?” tanya Keilana takjub.

Riga mengacungkan telunjuknya. “Ini kunci gue.”

“Old-fashioned,” gumam Biru sinis.

Hhhh…. Beruntung Keilana tidak paham arti gumaman itu.

Begitu pintu terbuka, Keilana tercengang sejadi-jadinya. Mewaaaahhhh.

“Mulutnya biasa aja,” sindir Biru melangkah mendahului keduanya.

“Gue ulek ya mulut lo!” maki Keilana jengkel.

“Berani lo?”

Keilana berkacak pinggang. “Apa lo? Nantangin lagi?”

“Ada apa ini ribut-ribut?”

Suara berwibawa membuat mereka bungkam. Dari arah tangga, seorang pria separuh baya datang. Tersenyum dengan parasnya yang masih tampan serta tubuh yang gagah. Mata Keilana membulat saat sosok itu tiba di hadapannya.

“Om Danu?”

Riga menatap Keilana heran. “Om Danu???”

“See???” sambar Biru menatap Keilana kesal. “Mana kata lo yang nggak kenal bokap gue? Lo mau ngeles apa lagi?”

Mata Keilana nyaris meloncat. “Om Danu bokap lo?!”

“Nggak usah pura-pura lagi!” 

“Gue baru tau!”

“Diem dulu bisa nggak?! Capek gue denger kalian berantem!” sela Riga mulai jengkel.

“Ada apa ini?” tanya Pak Danu menatap ketiganya bergantian. “Kalian udah saling kenal?”

Biru mendengus. Tak habis pikir dengan ayahnya yang masih bisa tenang di situasi seperti ini. Oh, jangan lupakan skandal dunia pergulaan antara ayahnya dengan Keilana. Itu masalah utama yang tidak bisa ditolerir Biru!

“Kenal,” angguk Keilana menunjuk Biru dan Riga. “Jadi kalian anaknya Om Danu?”

“Papa udah berani ya khianatin mama?” rutuk Biru tajam.

Kening Pak Danu mengernyit. “Khianatin mama?”

“Maksud lo apaan, Bi?” Riga ikutan bingung.

Tatapan Biru menajam pada ayahnya. Raut wajahnya mengeras. Kesal minta ampun karena ayahnya dan Keilana masih bisa bersandiwara setelah ketahuan. Dengan wajah dingin, ia meraih ponsel dan menunjukan video tempo hari. Tepat di depan wajah Pak Danu.

“Papa kasih semua fasilitas ke Keilana. Apartemen, uang bulanan, sampai dimasukin ke kampus. Buat apa?”

“Really?!” sambar Riga dengan mata membesar. Ia menatap ayahnya tidak percaya. “Pa?”

Pak Danu mengangguk. “Iya. Bener.”

“Maksud Papa apa sih?” kejar Biru.

“Om Danu cuma bantuin aku kok, Kak.”

“Diem aja lo,” ucap Biru tajam. “Enak kan idup lo jadi simpenan bokap gue?”

“Simpenan???” tanya Pak Danu dengan wajah bingung.

“SIMPENAN?!” ulang seorang wanita.

Sontak semua menoleh. Wanita itu adalah Bu Tika, istri Pak Danu. Ia melotot, kemudian melangkah ke arah mereka dengan wajah merah padam. “Mama udah denger semuanya! Jadi selama mama traveling, Papa cari mainan?”

Giliran Keilana menatap Pak Danu dengan harapan mendapat penjelasan.

“Om Danu cuma bantuin saya kuliah.”

“Oh… panggilannya ‘OM’???” sindir Bu Tika melipat tangannya di dada sembari melirik sinis ke arah Keilana. “Mama nggak percaya selera Papa beginian. Mau mama cariin yang lebih oke?”

Bukannya merasa bersalah, Pak Danu justru menahan tawa. Ia terlihat sangat menikmati situasi lucu itu. Kecemburuan sang istri membuatnya puas. Namun tentu saja ia tidak bisa membiarkan segala kesalahpahaman itu berlarut-larut. Ia menyentuh punggung istrinya dengan lembut.

“Semuanya duduk dulu. Biar papa jelasin sejelas-jelasnya,” katanya mengerling pada sang istri. Wanita itu menepis tangannya yang membuat tawa Pak Danu nyaris pecah. “Ini salah paham. Ayok duduk, kita bicara dengan tenang.”

Pak Danu memegang tangan sang istri dan menariknya ke sofa. Mau tidak mau, yang lain mengikuti. Biru, tentu saja masih seperti biasanya yang memasang ekspresi datar atau dingin. Riga, masih mengalami mind blowing. Berusaha meyakinkan diri bahwa Keilana memang masih seperti yang ia kenal; polos dan tulus. Sementara itu, Keilana yang paling merasa tersiksa di sini. Ia merasa seperti pesakitan. Lebih tepatnya merasa dianggap sebagai gadis murahan yang jadi simpanan om-om. Faktanya tidak begitu… setidaknya menurut ia sendiri. Karena… terus terang ia juga tidak tahu pasti alasan di balik kebaikan Pak Danu yang berlebihan itu.

Helaan napas Pak Danu terdengar.

“Baik. Karena situasinya jadi di luar kontrol, papa mau cerita semuanya,” ucap Pak Danu terhenti. Ia memanggil salah satu asisten rumah tangga, “Bi Marni! Bi!”

“Iya, Pak!” sahut Bi Marni berlari tergopoh-gopoh dari luar. “Kenapa, Pak?”

“Tolong ambilin album foto coklat di ruang kerja, ya. Ada di laci meja saya.”

“Iya, Pak.”

Begitu Bi Marni pergi, Pak Danu menatap Biru. “Kamu dapat video itu dari siapa? Kok sempat-sempatnya ada yang video. Kan papa bukan artis. Orangnya sengaja mau jatuhin papa?”

“Kenapa Papa nggak jelasin dulu semuanya?” sahut Riga menimpali.

“Keilana bukan simpenan papa. Dia itu anak dari sahabat papa di kampung dulu. Makanya papa minta dipanggil ‘Om’.”

Bibir Riga dan Keilana membulat. Berbeda dengan Biru dan Bu Tika yang masih belum percaya. Keduanya masih diam dengan wajah dingin dan kesal. Sepertinya agak sulit meyakinkan keduanya.

“Kenapa Papa nggak bilang ke kita sih? Kenapa harus ditutup-tutupin? Kan Biru jadi salah paham. Dia udah sering ngerjain Keilana. Kayaknya gara-gara ini ya, Ru?” pancing Riga memandang Biru.

“Dia emang asyik dikerjain.”

Jawaban Biru membuat Keilana melirik sadis. Nyaris saja ia melayangkan sepatunya andai tidak ingat situasi. Memang sampah dari yang ter sampah manusia bernama Albiru Kavi ini. Sumpah! Keilana benci! Benci banget!

“Biru, kamu nggak boleh begitu sama Keilana. Dia itu anak sahabat papa.”

“Buktinya apa? Ngaku-ngaku kan bisa.”

“Sabar dulu. Kan albumnya sedang diambil Bi Marni.”

Panjang umur. Bi Marni datang dengan sebuah album cokelat, tepat di saat Biru berisik meminta bukti. Pak Danu mengambil album itu dan memberi isyarat agar Bi Marni pergi. Dengan gerakan yakin, ia membuka lembaran demi lembaran album itu. Sampailah tangannya pada lembaran terakhir. Pak Danu tersenyum dan menyodorkan album itu di meja.

“Ini Om…. Ini Andi dan Laras. Orang Tua kamu, Keilana.”

Keilana takjub. Perlahan, ia menyentuh foto langka itu.

“Panjang ceritanya….” Pak Danu menghela napas lagi. Ia mengalihkan perhatian pada Biru. “Dulu keluarga Keilana ini kecukupan waktu masih di kampung. Ayahnya Keilana yang selalu kasih semangat tiap papa cerita mau merantau ke Jakarta.”

“Terus Papa jadi merantau?” tanya Riga penasaran.

“Seperti yang kamu lihat sekarang, Riga. Kita tinggal di sini.”

Biru mendengus.“Bullshit.”

Pak Danu melirik Biru dengan tatapan tidak suka. “Kenapa lagi, Biru?”

“Kalo emang sahabatan, kenapa Keilana nggak tau kalo papa itu temennya?”

“Keluarga Keilana bangkrut di kampung. Katanya, Andi sekeluarga mau nyusul papa di Jakarta. Papa nggak tau gimana ceritanya, tiba-tiba lost contact. Ketemu lagi waktu kejadian pembunuhan di deket masjid. Ternyata Andi yang dibunuh.”

Penuturan itu membuat Keilana memandangi foto ayahnya dengan mata berkaca-kaca. Ia nyaris menangis. Membuat Pak Danu mendadak merasa bersalah karena telah mengungkit hal itu.

“Maaf ya, Keilana. Om nggak bermaksud—“

“Nggak apa-apa, Om. Lanjut aja,” potong Keilana tersenyum getir. Tiba-tiba ia bangkit dan berkata, “Makasih ceritanya, Om. Saya pulang dulu.”

“Kei, lo nggak apa-apa?” selidik Riga.

Keilana mengangguk. “Permisi.”

“Gue anter.”

“Nggak usah.”

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *