Mozaik 16 Nonversation

“Kenapa sih lo ngajak gue? Bukannya lo benci sama gue?”

Benci?

Iya. Kemarin-kemarin ia sangat membenci gadis itu. Biru mengakuinya. Tapi sejujurnya, ia juga tidak punya alasan kenapa menyeret Keilana tengah malam. Biru tidak tahu jawabannya. Karena itu, ia membisu. Membiarkan pertanyaan gadis itu mengambang tanpa jawaban.

“Lo laper nggak?” tanya Keilana menyodorkan rainbow cake yang tersisa setengah slice.

Tidak ada jawaban. Bibir Keilana mencebik.

“Kalo ujung-ujungnya dicuekin, ngapain maksa gue ikut,” gumamnya pelan.

Biru bisa mendengarnya. Tapi bukan itu yang membuat ia berbalik dan mendekati Keilana yang masih sibuk dengan kue warna-warninya. Angin malam berhembus. Menerbangkan helaian rambut Keilana yang kecoklatan karena terlalu sering berpanas ria di jalan. Sejenak, Biru terpaku. Beberapa detik setelahnya, ia menarik napas panjang.

“Dulu lo ada masalah apa sama preman?”

“Itu…,” sahut Keilana terhenti sebentar. Ia menelan kuenya. “Gue dipalak. Duit buat daftar kuliah diambil semua sama mereka.”

“Oh. Terus lo ketemu bokap gue di mana?” tanya Biru datar.

“Waktu bokap gue meninggal. Om Danu yang ngurus semuanya.”

“Kok bisa?”

“Ustadz Farhan bilang, Om Danu itu donatur tetap untuk pembangunan mushola di daerah tempat gue tinggal dulu. Kebetulan aja Om Danu lagi di sana. Makanya diurus sekalian sama beliau. Sampe kasusnya diserahin ke polisi juga sama beliau.”

“Terus udah ketemu yang bunuh bokap lo?”

Keilana menggeleng. “Susah. Nggak ada petunjuk. Jadi gue bilang ke bokap lo, biar ditutup aja kasusnya. Yang penting ayah tenang di sana. Biar Tuhan yang ngehukum pembunuhnya.”

“Kok lo bisa seikhlas itu?”

“Ya….” Keilana menggoyangkan kakinya. Ia tersenyum kecut. “Gue nggak mau nambah beban aja sih. Daripada gue kepikiran terus sampe dendam, ya udah… mau nggak mau gue ikhlasin aja. Gue nggak mau numpuk banyak beban di hati. Idup gue udah cukup berat.”

Tidak ada suara lagi di antara mereka selain hiruk pikuk Jakarta tengah malam. Keilana kembali menggigit kue. Ia tersenyum tipis. Bersyukur pada kejahilannya malam ini. Kalau bukan karena tragedi pakaian, mungkin momen seperti ini tidak akan pernah tercipta. Meskipun ia sama sekali tidak tahu apa motif Biru, tapi setidaknya ia punya kesempatan untuk meluruskan kesalahpahaman selama ini. Perkara Biru percaya atau tidak, urusan belakangan.

“Gue laper,” ucap Biru tiba-tiba.

“Yah, kuenya abis….”

“Makan di luar.”

“Mau makan apa? Ketoprak?”

“Gue nggak suka ketoprak.”

“Kenapa? Ketoprak kan enak. Apalagi kalo bumbu kacangnya kentel. Beuuuhhh, juara!”

Biru tidak menyahut. Ia sibuk mengecek ponsel. Mencari kafe mana yang masih buka tengah malam di sekitar situ. Ada satu kafe yang berjarak empat km dari situ. Tanpa banyak bicara, ia memasuki mobil yang diikuti Keilana yang berlari-lari kecil menyusulnya.

“Eh, tungguin!”

“Buruan.”

♪♫♪

“Nggak. Gue masih kenyang.”

Penolakan Keilana membuat Biru menikmati makanannya sendirian di Kafe Midtown. Khidmat. Tenang. Ada beberapa gadis yang sesekali melirik dengan cekikik genit. Namun Biru tidak peduli. Ia sudah terlalu biasa dengan tatapan kagum para gadis. Begitu pun ketika salah satu gadis cantik itu mendekatinya dengan percaya diri. Biru bergeming.

“Hai.”

Dentingan alat makan terhenti. Biru menatap gadis itu datar.

“Gue Gita,” senyum gadis itu duduk di hadapan Biru dengan santai. “Lo sendirian, kan?”

“Nggak. Berdua.”

“Berdua? Tapi dari tadi lo duduk sendirian. Emang temennya ke mana?”

“Tuh….” Telunjuk Biru mengarah ke samping kanan Gita. “Lagi berdiri di samping lo. Bajunya putih, rambutnya panjang, cantik. Dia lagi senyum liat lo. Lo nggak bisa liat?”

Gita terpaku. Wajahnya memucat dan bulu kuduknya meremang. Buru-buru ia berdiri lagi dan segera angkat kaki dari hadapan Biru. Meninggalkan Biru yang tersenyum miring—puas karena berhasil menakut-nakuti gadis aneh tadi.

Tidak butuh waktu lama bagi Biru untuk menghabiskan makanannya. Ia melirik jam dinding. Sudah hampir pukul dua dini hari rupanya. Ia pun kembali ke mobil yang sengaja ditinggalkan dalam kondisi menyala. Itu semua karena Keilana yang memilih tetap di dalam mobil. Good news, sekarang gadis itu ketiduran di dalam dan membuat Biru tidak bisa masuk. Dengan setengah kesal, Biru mengetuk kaca jendela dengan keras hingga Keilana terbangun kaget.

“Buka pintu!”

“I-iya!” sahut Keilana tergagap.

“Pelor banget sih,” gerutu Biru memasuki mobil.

Keilana meliriknya dengan wajah mengantuk. “Siapa suruh nyeret gue malem-malem keluar? Ini kan waktunya tidur.”

“Cerewet.”

Mobil pun melaju. Menggilas jalanan Jakarta dengan kecepatan cukup tinggi. Biru menyalakan audio. Satu lagu dari Conan Gray mengalun lembut di dalam mobil Audi berwarna hitam mengkilatnya, mengisi keheningan antara Biru dan Keilana.

I still remember, third of December, me in your sweater
You said it looked better on me than it did you
Only if you knew, how much I liked you
But I watch your eyes as she

Walks by
What a sight for sore eyes, brighter than a blue sky
She’s got you mesmerized while I die

Adalah sebuah kesalahan kecil memutar lagu itu dini hari di jalanan. Biru memandangi kesalahan kecilnya: membuat Keilana kian pulas hingga tiba di jalan depan rumah. Baru saja berniat ingin membangunkan, tiba-tiba ponsel gadis itu bergetar dalam saku Biru. Ia memang sengaja mengambil ponsel Keilana karena terlalu malas mengambil ponselnya sendiri. Hanya berjaga-jaga kalau terjadi sesuatu di jalan.

Kak Auriga

Kei, lo di mana?

Lo pergi sama Biru?

Biru mendengus pelan usai membaca pesan dari Riga. Ia membiarkan dua checklist biru muncul tanpa membalas pesan. Dan entah jin mana yang merasuki otaknya, Biru menggulirkan layar. Ia penasaran, apa saja yang Riga dan Keilana bicarakan di sana. Siapa tahu ada nama Biru terselip di sana. Lumayan jadi bahan untuk mengganggu gadis itu.

Jari Biru berhenti. Dugaannya benar.

Keilana

Kak, mau tanya soal Biru.

Kak Auriga

Iya. Kenapa?

Keilana

Kenapa sih Biru benci banget

sama aku?Aku bingung.

Kak Auriga

Kan udah dibahas sama papa.

Biru punya gangguan ansos.

Keilana

Tapi kenapa bencinya ke aku aja?

Emang yang lain pernah dikerjain kayak gini?

Enggak kan?

Kak Auriga

Ketemuan aja yuk.

Enakan ngomong langsung.

Kita jajan di deket apartemen lo.

Keilana

Aku traktir ya?

Kakak suka gudeg nggak?

Kak Auriga

Lo mau makan itu? Boleh deh.

Gue samperin sekarang.

Keilana

Sip.

Terpekur. Biru terdiam cukup lama. Ia tidak bodoh untuk menyadari sesuatu. Riga bukan tipe cowok yang bakal nyamperin cewek. Selalu cewek yang nyamperin Riga. Ngajak ketemuan cewek? Bukan Riga banget. Lagipula… Riga nggak suka gudeg!

Objek fokus Biru teralih pada Keilana yang masih pulas. Perlahan, ia mendekati wajah gadis itu. Dalam keremangan, ia memandangi Keilana. Ia harus mengakui, Keilana tidak bisa dibilang jelek. Gadis itu sangat manis dengan wajah oval yang imut, mata bulat, hidung mungil, dan bibir yang….

No…,” gumam Biru menunduk. Ketika ia mencoba menahan diri, wangi cologne harga dua puluh ribuan menyambut indera penciumannya. Lembut. Ia baru tahu kalau gadis itu suka menyemprotkan wewangian sebelum tidur. Lucu.

Ddddrttttt!

Getaran ponsel menyentak Biru. Ia menghela napas saat melihat panggilan dari Riga.

“Halo,” ucap Biru pelan.

“Biru? Lo sama Kei?”

“Iya. Otw pulang. Udah ya. Gue lagi nyetir,” kata Biru mengakhiri panggilan.

Sebelum Keilana terbangun, jarinya bergerak cepat menuju pengaturan ponsel dan mengatur password. Usai mengaktifkan password, ia meletakkan ponsel itu di telapak tangan Keilana yang terbuka. Seringainya terbit.

“KEI! BANGUN! GEMPA!!!” teriak Biru sambil mengguncangkan tubuh gadis itu.

“Astagfirullaaah! Gempa?! Di mana gempanya?!”

“Di bumi!”

“Hah?! Ayo lari ke bulan!!!” panik Keilana berusaha membuka pintu.

“Cepet! Cepet! Kita ngungsi ke bulan sekarang!” sambar Biru makin membuat huru-hara.

“Pintunya nggak bisa dibuka! Ibookkk, Kei belum mau matiii!!!”

“Hahahaha!” Biru sudah tidak mampu menahan tawanya. Pecah sudah. 

Tawa keras itu membuat kesadaran Keilana pulih. Ia berhenti membuka paksa pintu mobil. Matanya menajam. Rasa kesalnya memuncak. Makin keras tawa Biru, emosinya kian melejit hingga ia tak bisa menahan diri. Tanpa babibu, ia merangsek dan menjambak rambut Biru.

“AAARRGHHH!” lolong Biru kesakitan.

“GUE HAMPIR MATI KAGET!!! SIALAN LO YA!!!”

“SAKEEETT! LEPAS!!!” teriak Biru berusaha menahan kekuatan tangan Keilana. Kali ini ia tidak berusaha membalas. Tapi demi Tuhan! Jambakan gadis itu betulan sakit.

“KEILANA! BIRU!”

Bentakan menggelegar Bu Tika menghentikan aksi anarkis itu.

“Masuk rumah. Sekarang!”

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *