Mozaik 18 BiruLana

“Udah pulang?”

Suara Biru di ponsel membuat tekanan darah Keilana seakan melonjak drastis.

“Kata sandi henpon gue apaan?!”

“Ke kamar gue sekarang. Gue bukain kunci hape lo.”

“Nggak mau!”

“Ke kamar Riga, lo mau-mau aja. Ke kamar gue kenapa nggak mau?” sindir Biru.

“Kak Riga baik. Lo jahat.”

“Terserah. Gue tunggu. Lewat dari lima menit, nggak bakal gue bukain kunci hape lo.”

Tuuuuttttt…..

“Ih! Reseeeee!” gerutu Keilana gregetan.

Dengan berat dan ogah-ogahan, ia menyeret langkahnya hingga depan kamar Biru. Sejenak, ia melirik kanan kiri. Takut kalau-kalau ada Bu Tika atau Riga lewat. Bukan apa-apa sih. Gengsi aja gitu diliat yang lain kalo gue nyamperin Biru, kan gue musuhan sama dia…, pikir Keilana memonyongkan bibir dengan kesal.

Setelah memastikan aman, ia mengetuk pintu kamar Biru.

“Masuk.”

Pintu pun terbuka, yang langsung disambut wajah jengkel Keilana.

“Kata sandi henpon gue apa?” tanyanya galak.

Biru tidak menjawab. Ia hanya mengulurkan tangan.

“Apaan?!” 

“Sini hape lo.”

“Nggak mau! Kasih tau gue aja kata sandinya apa!” sahut Keilana ketus.

“No. Never.”

“Kenapa sih lo seneng banget bikin gue susah?!”

Biru memutar bola matanya dengan malas. “Masih butuh dibukain gak hape lo?”

Bibir Keilana mencebik. Kalau bukan karena terpaksa, demi Tuhan, ia ingin sekali mencabik-cabik mulut Biru yang jahat itu. Dosa apa ia di masa lalu hingga dikerjai lagi dan lagi oleh anak manusia rese bernama Biru itu? Akhirnya ia berusaha menekan amarah seraya menyodorkan ponsel pada Biru.

“Nah, gitu dong…,” ucap Biru menekan delapan huruf untuk kata sandi. Setelah terbuka, ia terdiam sejenak melihat banyaknya pesan dari Riga. Ia hanya menarik napas panjang sebelum mengembalikan ponsel itu. “Nih. Balik ke kamar lo sana.”

Mata Keilana mendelik. “Lo nggak kasih tau gue kata sandinya?!”

“Nggak.”

“Nggak bisa gitu dong! Ini kan henpon gue, bukan punya lo! Lo nggak punyak hak apa-apa buat naroh kata sandi— hmppphhhhh!”

Biru menangkupkan telapak tangan ke wajah gadis itu sambil mendorongnya mundur keluar dari kamar. Kemudian ia mengunci pintu dengan cepat. Tak peduli pada pintunya yang digedor-gedor oleh gadis itu.

“Gue masih mau ngomongggg!”

“Nggak.”

“Biruuuu!!!”

“Balik ke sini lagi kalo lo butuh password.”

Cepat-cepat Keilana mengunci lagi ponselnya, lalu kembali menggedor-gedor pintu. “Gue butuh sekarang! Henpon gue kekunci lagi!”

Pintu terbuka. Kesempatan emas bagi Keilana untuk merangsek masuk.

“Nih, bukain kuncinya….”

“Tapi ada syaratnya. Lo bales semua chat sekarang di depan gue, jadi setelah keluar kamar, lo udah nggak bisa ganggu gue buat minta password.”

Keilana menganga.

“Gue ganggu lo??? Nggak kebalik?!” sambarnya tidak terima. “Ini henpon gue. Kalo bukan karena lo yang rese pasang kata sandi, gue nggak akan sudi minta tolong kayak gini. Lo sendiri yang bikin masalah. Lo yang ganggu gue!”

“Salah sendiri nggak pasang password. Jadi gampang diisengin, kan.”

“Berarti bener kan, lo jahat! Beda sama Kak Riga!”

Wajah Biru mendadak mendung. Selama beberapa detik, suasana di antara mereka jadi hening. Senyap.

“Keluar dari kamar gue.”

“Kata sandinya apa dulu!”

“KELUAR!!!” bentak Biru menggelegar dengan mata mendelik.

Keilana terkejut setengah mati. Wajahnya memanas. Matanya mendadak berkaca-kaca. Ia memandang Biru dengan perasaan tidak karuan. Ia hanya ingin kata sandi untuk ponsel. Tapi kenapa perkara kata sandi saja bisa seberat ini? Kenapa Biru suka sekali membuatnya ada di posisi sulit? Tenggorokan Keilana tercekat. Sedih sekaligus marah bercampur aduk hingga menyesakkan rongga dadanya. Tiba-tiba….

PRAKKK!!!

Ia membanting ponsel hingga layarnya retak dan pecah. Biru membelalak tidak percaya.

“Gue nggak akan memohon-mohon lagi,” desis Keilana dengan mata memanas.

“Selamat malam, Albiru Kavi.” 

♪♫♪

Biru yang indah….

Bukan Albiru Kavi.

Keilana tengah mengagumi langit pagi ini yang begitu cerah dan biru. Beda jauh dengan wajahnya yang mendung dan sembab. Semalaman ia menangis hingga ia terbangun dengan mata bengkak pagi ini. Ini bukan perihal Biru (saja), tapi tentang kerinduannya pada ayah dan ibu….

Omong-omong, semalam Riga berusaha menemuinya di kamar.

Rupanya Riga mendengar pertengkaran antara ia dengan Biru. Sebuah jawaban klasik ‘nggak apa-apa’ keluar dari bibir Keilana. Ia menolak bertemu dengan siapapun sampai perasaannya tenang. Hingga pagi ini, ia belum keluar dari kamar. Kalau bukan karena Bi Marni yang mengetuk pintu dan membawakan sarapan serta seikat bunga, ia pasti masih duduk hingga pantatnya berakar di dalam sana.

“Sarapan dulu ya, Neng.”

“Makasih, Bi Marni.”

“Neng, ini ada kiriman bunga. Nggak tau dari siapa,” ucap Bi Marni menyerahkan satu buket bunga mawar merah untuknya.

Kening Keilana berkerut. Dibacanya kartu ucapan di buket. Tidak ada nama pengirim di sana. Hanya ada sebaris kalimat dalam bahasa Inggris yang membuat Keilana menggaruk kepala dengan bingung. Terbersit dalam pikirannya untuk menggunakan google translate seperti yang telah diajarkan Dian. Namun tragedi kata sandi semalam membuatnya melempar ide itu jauh-jauh. Well, ia tidak punya ponsel sekarang.

Bi Marni duduk dengan hati-hati di samping Keilana.

“Neng tau siapa yang kirim?”

“Enggak, Bi…,” sahut Keilana pelan. Tiba-tiba satu ide melintas lagi. Ia memandang Bi Marni dengan mata berbinar-binar. “Bi, pinjem henpon dong.”

Asisten rumah tangga itu mengangguk dan menyodorkan ponselnya. “Buat apa Neng?”

“Nggak apa-apa, Bi,” jawab Keilana dengan wajah serius. Ia mengetik sesuatu sambil bergumam kaku, If I could give you one thing in life, I would give you the ability to see yourself through my eyes. Don’t be sad, you’re precious.”

Ketika ia menekan ‘enter’, wajah serius itu melunak. Senyum malu-malu terbit.

“Jika saya bisa memberi Anda satu hal dalam hidup, saya akan memberi Anda kemampuan untuk melihat diri sendiri melalui mata saya. Jangan sedih, kamu berharga,” baca Bi Marni kian memperjelas situasi. Bibi itu melirik Keilana dengan sorot mata jahil. “Hmmm, pantes senyum-senyum.”

“Hehehe.” Keilana terkekeh seraya mengembalikan ponsel itu pada pemiliknya.

“Neng, semalem kenapa? Berantem lagi sama Mas Biru?”

Senyum malu-malu itu berubah menjadi senyum kecut.

“Mas Biru tuh sebenernya baik lho orangnya,” kata Bi Marni lagi.

“Iya, Bi. Kei tau kok. Kemarin dia habis kasih sumbangan di jalan.”

“Bukan cuma itu, Neng….”

Sepertinya ada banyak hal yang tidak ia ketahui tentang Biru….

“Mas Biru itu rutin kasih sumbangan buat yayasan anak yatim piatu tiap bulan dari uang jajannya. Yang Neng bilang dia habis kasih sumbangan, itu juga dari uang jajannya. Kadang dia suka ngilang waktu libur. Mamanya bingung. Padahal Mas Biru ngajar Bahasa Inggris buat anak jalanan. Tapi nggak banyak yang tau, Neng. Palingan cuma saya sama bapaknya aja yang tau.”

Sebuah cerita yang sungguh menginspirasi. Ia nyaris saja takjub dengan kisah seputar Biru yang murah hati itu. Tapi begitu teringat kejadian semalam, rasa takjub itu gagal tumbuh. Ia masih jengkel pada Biru dan sikap semena-menanya.

“Bi Marni ikut keluarga ini udah lumayan lama. Jadi bibi tau gimana sifat Mas Biru. Dia itu cuma nggak tau aja gimana cara nunjukin perasaannya buat orang.”

Sontak pikiran Keilana melayang ke belakang, tepatnya tempo hari saat Biru saat memberikan sumbangan di jalanan. Wajah pemuda itu terlihat datar-datar saja. Hmmm… jadi itu alasannya.

Tokkk! Tokkk!

“Kei, udah siap-siap belom?”

Suara Dian mendistraksi obrolan seputar Biru. Cepat-cepat, Keilana bangun dan melesat untuk membukakan pintu. Ia menggaruk kepalanya. “Belom. Hehehe…. Siapa yang nganter lo ke sini?”

“Kak Riga,” sahut Dian memasuki kamar. Ia tersenyum pada Bi Marni. “Pagi, Bi.”

“Pagi Neng. Cantik bener….”

“Makasih Bibi canteeekkk. Muaaaahhhh,” balas Dian genit.

“Eh, bibi mau keluar dulu,” cengir Bi Marni lalu menutup pintu.

Begitu pintu tertutup, ekspresi Dian berubah drastis. Ia melipat tangannya di dada sambil memandang Keilana yang masih acak-acakan. “Kok hp lo nggak aktif? Kenapa mata lo bengkak?”

“Rusak. Gue udah nggak punya henpon.”

“Beli lah. Uang dari Om Danu masih banyak, kan?”

“Masih sih….”

“Terus kenapa mata lo bengkak? Nangis? Kak Biru lagi?”

Cengiran dari Keilana adalah satu jawaban yang lebih dari cukup untuk Dian. Gadis tomboy itu hanya bisa menghela napas sambil menghempaskan tubuhnya di ranjang.

“Lo nggak capek berantem mulu sama Kak Biru?”

“Capeklah.”

“Balik ke apartemen ajalah kalo gitu. Nggak enak tau hidup numpang di rumah orang. Pasti adaaaa aja yang salah di mata yang punya rumah.”

Keilana sangat mengerti dan sangat setuju dengan pendapat Dian. Persis dengan apa yang tengah ia alami saat ini, terutama dengan Bu Tika. Sang ibu suri itu hampir selalu berwajah dingin di hadapannya. Rasanya, ia bernapas pun akan tetap salah bagi Bu Tika.

“Ntar…,” desah Keilana meletakkan buket bunga di nakas.

“Eh, kan gue sampe lupa!” kata Dian tiba-tiba bangun lagi. Ia mengambil ponsel, lalu menunjukkan sesuatu pada Keilana. “Ini Kak Riga sama lo, kan?”

Bibir Keilana membulat hingga video itu selesai dimainkan.

“Lo tau nggak? Video ini viral sejak semalem di TikTok.”

“Demi apa?!”

“Zara yang ngasih tau gue. Pada heboh gegara ada pengamen super ganteng gitu deh. Makanya viral,” jelas Dian yang membuat kepala Keilana mendadak nyut-nyutan. Dengan wajah serius, Dian menyentuh pundak Keilana. “Kei, gue jadi tetangga keluarga ini udah bertahun-tahun. Dan gue yakin, lo udah paham gimana sifat Tante Tika. Ribet urusannya kalo udah nyangkut soal dua perjakanya, itupun kalau memang masih perjaka?.”

“perjaka itu belum menikah kan?” tanya Keilana serius.

“Yeuuuu! benaran gak tau” maki Dian menoyor kepala Keilana.

“Kan gue nanya beneran….”

“Mana gue tau! Tanya langsung ke mereka, berani ga lo?”

“Emmm, enggak.”

Dian memutar bola matanya dengan malas. “Yodahlah! Lo hati-hati, ya.”

♪♫♪

Ada yang dingin, tapi bukan es.

Adalah Biru dan Keilana yang tengah perang dingin karena tragedi kata sandi semalam. Memang random sekali kedua mahluk itu. Dulu mereka bertengkar karena spanduk. Nah, sekarang bertengkar karena kata sandi. Kalau dirunut akar masalahnya, sudah sangat jelas biang keroknya adalah Biru. Albiru Kavi itu benar-benar sebuah definisi dari membesar-besarkan masalah.

Pagi tadi, Keilana tidak sempat bertemu Biru di rumah. Pemuda itu ada kelas pagi. Lagipula sudah sangat jelas, Keilana malas keluar kamar. Tapi pertemuan itu tidak bisa dihindari di area kampus. Kelasnya terkadang bersebelahan dengan pemuda rese itu. Mau tak mau, ia berusaha menebalkan pertahanan dari rasa ingin menghujat dan menampar Biru.

Dua kali ia berpapasan dengan Biru hari ini. Dua kali pula ia membuang muka. Melengos terang-terangan di depan batang hidung Biru—membuat Biru gregetan ingin mengusilinya lagi. Ketika berpapasan untuk ketiga kalinya, Biru hanya mengatakan satu kalimat.

“Hukuman bersihin ruangannya selesai.”

Resmi. Detensi dari Biru berakhir.

Namun Keilana hanya melengos judes. Lagi dan lagi.

Tappp!

Habis sudah kesabaran Biru. Untuk ke sekian kalinya, ia mencengkeram tangan gadis itu. 

“Jangan berisik. Ikut gue.”

Well… Keilana pun tidak berminat untuk meloloskan diri atau berteriak. Ia sudah lelah. Ia sudah tidak ingin menghabiskan tenaganya untuk bertengkar dengan Biru. Untuk apa? Bisakah ia membuat Biru minta maaf? Tidak. Yang ada, energi dan perasaannya yang terkuras habis hanya untuk meladeni pemuda laknat itu.

Sekarang, Keilana tidak tahu ke mana Biru akan membawanya. Sejujurnya, ia masih punya satu kelas lagi. Tapi si durjana bernama Biru itu menculiknya. Jadi bukan salah Keilana jika membolos. Bukan sebuah masalah juga. Toh dosen pun tidak terlalu peduli jika ia hanya membolos sesekali. Lagipula, ia bukan orang penting. Ia ada di kelas atau tidak, tidak akan ada dosen yang notice. Sad fact.

“Lo tunggu di sini,” ucap Biru setelah memarkirkan mobil.

“Nggak mau. Panas.”

“AC-nya nggak dimatiin.”

“Bodo amat. Gue mau turun. Lo enak-enak jalan ke mall, masa gue disuruh nunggu di mobil? Ogah,” tolak Keilana mentah-mentah.

“Nurut bisa nggak?”

“Siapa lo? Emak gue?”

Whatever. Tunggu di sini.”

“Gue mau turun!”

“Nggak.”

“Ya udah, beliin jus kalo gitu! Gue haus!”

Tanpa menjawab permintaan Keilana, Biru keluar dari mobil. Tidak butuh waktu lama baginya untuk menemukan barang yang dicari. Yang membuatnya merasa bodoh saat ini justru karena mengantri untuk segelas jus alpukat pesanan Keilana. Bisa-bisanya ia menuruti perintah gadis itu. Shit!

Biru kembali ke mobil dengan dua benda di tangan. Ia menyerahkan keduanya pada Keilana yang membuat gadis itu mengernyitkan dahi. She didn’t ask for the big one….

“Gue kan cuma pesen jus. Ini apaan?” tanya Keilana heran sambil mengangkat bingkisan besar itu. Matanya membesar. “Lo beli henpon baru???”

“Buat lo.”

“Hah?”

“Sorry.”

Kali ini bibir Keilana menganga.

Biru minta maaf??? Wow, demi apa?! Keajaiban dunia ke berapa ini?! Ia pikir, harus menunggu kiamat dulu baru Biru mau meminta maaf pada orang lain. Ternyata manusia dengan ego menjulang melampaui ketinggian Gunung Everest itu masih bisa minta maaf pada gadis miskin seperti Keilana. Fakta yang sungguh mengguncang. Sampai-sampai Keilana memandangi Biru lamaaa sekali. Takjub, heran, dan… apa mungkin Biru sedang kesambet?!

Sorry buat yang semalem.”

Shock therapy untuk kedua kalinya. Makin melongo Keilana dibuatnya. Jujur, ia malah khawatir dengan sikap Biru yang sekarang. Dengan hati-hati, ia menyentuh kening Biru.

“Lo sehat?”

Biru menepis tangan Keilana. “Ngapain lo?”

“Badan lo nggak panas….”

“Lo ngeledek gue? Sini, balikin hapenya kalo nggak mau.”

“Eh, nggak! Nggak! Gue mau!” tahan Keilana panik. Ia memeluk bingkisan ponsel dengan senyum lebar. “Makasih Kak Biru.”

“Nomor hape lo masih yang kemaren. Kartunya udah dipasang.”

“Makasih.”

“Gue udah pasang password,” ucap Biru menyambar jus alpukat dari tangan Keilana. Padahal si pemilik jus saja belum minum, tapi ia menyedot hingga tersisa ¾ cup. Seketika air muka Keilana berubah masam. Bukan perkara jus alpukat, tapi tentang password….

“Birulana. Inget baik-baik password-nya.”

Kembali, Keilana bengong. “Kata sandinya… Birulana?”

“Kenapa? Gue nggak peduli lo suka atau nggak. Pokoknya password-nya birulana.”

Keilana makin tidak mengerti. Ia menggaruk kepalanya yang tidak gatal.

“BiruLana itu maksudnya Biru sama Keilana?”

“Iya. Biar lo selalu inget gue sebelum balesin chat Riga.”

Sumpah, Keilana makin bingung.Emang kenapa gitu kalo gue balesin chat Kak Riga?

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *