Mozaik 19 Epiphany

Pada akhirnya ini semua hanyalah permulaan

Pada akhirnya kami semua berkawan dengan sebentar

Berbaring tersentak tertawa, tertawa dengan airmata

Mengingat bodohnya dunia dan kita yang masih saja berusaha

(Beranjak Dewasa – Nadin Amizah)

Mahluk berbulu yang menggemaskan itu berlari ke sana ke mari. Terlihat sangat fluffy dengan bulu tebal yang berkilau. Membuat tangan Keilana gatal ingin meremas-remas Nana—hewan peliharaan Biru itu. Sesekali Nana melompat ke pangkuannya, lalu mendengkur tenang di sana. Keilana tersenyum. Mengelus kucing cantik itu sembari menghubungi Dian dengan ponsel barunya.

“Lo udah beli yang baru?” tembak Dian langsung.

“Dibeliin sama Biru.”

“Oh… dia udah insyaf apa gimana?”

“Tauk deh kesambet apa. Tadi dia maksa gue ikut ke mall. Taunya beliin henpon baru buat gue. Kan gue kaget….”

“Jadi lo ngilang gegara Biru?”

“Gitu deh,” sahut Keilana pelan. “Eh, ada tugas nggak dari Bu Windi?”

“Nggak. Ntar gue kirimin materi kuliah yang tadi.”

“Makasih, ya.”

“Eh, tunggu!” tahan Dian cepat.

“Kenapa?”

“Tante Tika ada belum ada ngomong apa-apa soal video?”

“Nggak ada. Belom mungkin. Lagian gue bisa apa coba kalo dia ngamuk-ngamuk. Bukan gue yang ngajak Kak Riga ngamen. Dia kok yang maksa gue pengen ngerasain ngamen,” tutur Keilana sedikit galau.

“Iya, gue ngerti. Coba aja Tante Tika sama ngertinya kayak gue…,” desah Dian dari seberang sana. “Lo tau nggak? Nyokap gue udah nunjukin videonya ke Tante Tika. Mungkin ntar malem, dia bakal ngomong ke elo sama Kak Riga.”

“Kapan sih gue bisa hidup tenang…,” keluh Keilana pelan.

“Eh, btw udah dulu, ya.”

“Iya.”

“Kei….”

“Hmmm.”

“Semangat, ya. Bye.”

“Dadah….”

Keilana menarik napas panjang.

Kenapa masalah terus berdatangan? Sebenarnya hal sederhana. Tapi hal sederhana pun bisa jadi rumit di tangan orang yang salah. Di rumah ini, dua orang ribet yang hobi membesar-besarkan masalah (menurut versi Keilana) adalah Bu Tika dan Biru. Like mother, like son. Buah memang tidak jatuh jauh dari pohonnya….

♪♫♪

Audi hitam mengkilat itu terparkir anggun di salah satu night club Jakarta. Pemiliknya yang tampan tengah duduk tenang di dalam kelab sambil menenggak tequila. Sesekali ia menatap ponselnya. Hanya untuk memastikan lokasi seorang gadis yang ia pantau. Ia hanya tersenyum miring, si gadis masih di kediamannya. Setidaknya itu yang dikatakan oleh real time location Google Maps.

Mata tajam itu beralih fokus pada Jeno, si tampan berkharisma yang punya leadership kuat. Sahabatnya itu sibuk meracik irama dalam dalam riuh rendah pengunjung yang bergoyang kesetanan. Sayangnya, irama yang memikat itu belum cukup menarik hati Biru untuk ikut bergabung di dance floor. Simpel, ia hanya kurang suka saja. Karena itulah, kunjungannya di night club hanya akan berakhir di counter depan bartender atau di kursi pojokan dengan satu catatan: Biru berusaha tidak mengonsumsi alkohol.

Tapi tidak selalu begitu.

Biru tetap hanyalah manusia biasa yang bisa goyah. Contohnya malam ini. Namun akan selalu ada sebab di balik tiap tegukan alkohol yang ia tenggak. Alasan alkohol malam ini berakar dari obrolannya dengan Riga tadi—tepat setelah membelikan ponsel baru untuk Keilana.

“Biru, lo berantem sama Kei?”

“Hmmm.”

“Lo apain dia sampe nggak mau keluar kamar?”

“Nggak gue apa-apain. Cuma berantem biasa.”

“Jangan sampe lo jahatin dia. Gue bakal ada di garis depan buat lindungin dia.”

Biru terdiam. Menatap Riga dengan sorot mata menyelidik. Mungkin ini bukan saat yang tepat, bahkan bukan pertanyaan yang bagus. Tapi sejak kemarin ia penasaran pada satu hal.

“Lo suka sama Kei?”

“Kalo iya? Lo bakal tetep jahatin dia?”

Sampai di kalimat Riga yang itu, otak Biru tidak bisa menemukan jawaban yang tepat. Ia meninggalkan pembicaraan itu menggantung—tanpa ending. Akhirnya di sinilah ia sekarang, di sebuah kelab malam ternama Jakarta. Duduk menyedihkan, sendirian di pojokan dengan segelas tequila. Biasanya setelah menenggak alkohol, ia tidak pulang ke rumah. Ia lebih memilih untuk bermalam di salah satu kamar hotel milik sang ayah. At least, itu lebih baik daripada harus mendengar ocehan sang ibu.

“Lo mabuk?”

Biru mengangkat kepalanya. “Enggak.”

“Bilang ‘enggak’ tapi muka udah merah,” gumam Zara duduk di samping Biru sambil menuang tequila di gelas Biru yang kosong. Ia menyodorkan gelas. “Lo masih benci sama gue?”

“Hm.”

“Hm? Ya atau enggak?”

“Nggak penting.”

“Penting buat gue.”

“What for?” tanya Biru menggoyang isi gelasnya.

“Biar gue tau kapan saatnya gue maju lagi,” jawab Zara dengan wajah serius. Ia menggeser tubuhnya. Berusaha memangkas jarak antara ia dan pemuda itu. “Biru, gue serius. Gue beneran pengen sama lo lagi.”

“Tapi gue nggak mau.”

Hati Zara tercubit mendengar penolakan tegas itu. Ia menarik napas panjang, berusaha melenyapkan sesak di rongga dadanya. Perlahan, jari lentiknya menyentuh punggung tangan Biru.

“Kasih kesempatan buat gue…. Gue janji bakal bikin lo jatuh cinta ke gue.”

“Buat apa janjiin sesuatu yang nggak gue harepin?”

Zara menggenggam tangan Biru.

“Lo harepin apa dari gue? Gue bakal usahain yang terbaik buat lo.”

“Nggak ada,” jawab Biru singkat. Ia menepis tangan Zara sebelum menatap wajah gadis itu. “Berhenti. Itu jawaban final gue.”

Jawaban akhir itu membuat Zara membeku di tempatnya. Ia menggenggam jarinya kuat-kuat, berusaha menahan sakit hati yang sudah dipendam selama berhari-hari. Dadanya sesak. Matanya mulai berair. Kehilangan Biru dan… tak ada harapan untuk kembali. Ia baru tahu, patah hati tenyata sesakit ini.

“Sorry.”

Itu adalah kata ‘maaf’ kedua Biru hari ini… untuk seorang gadis yang sebenarnya ia benci.

♪♫♪

Biru keluar bersama Jeno. Bu Tika masih sibuk dengan teman-teman sosialitanya. Pak Danu belum kembali dari perjalanan bisnis. Rumah besar bak kastil itu terasa lebih sepi. Tidak ada orang lain di dining room selain Keilana dan Riga. Dua porsi gudeg komplit tersaji di sana. Itu semua ulah Keilana yang order diam-diam via aplikasi, katanya ngidam mau makan gudeg.

“Hhhh….”

Mendadak Riga menghela napas yang membuat Keilana mengernyitkan dahi.

“Makan di deket kolam renang aja yuk. Bosen makan di sini terus,” ajak Riga langsung bangkit tanpa menunggu persetujuan Keilana. Gadis itu tergopoh-gopoh mengikuti dengan membawa dua piring gudeg.

“Duduk sini kan seru. Bisa liat bintang lagi. Cantik,” ucap Riga. Ia memandang Keilana yang sibuk meletakkan piring di meja. Ia tersenyum dan berkata pelan, “But you’re prettier….” 

Keilana mengerjap. “Hummm? Artinya apa?”

“Langitnya bagus.”

“Oh,” tawa Keilana pelan sambil mengangguk paham. Ia mendongak. “Iya, bagus.”

Btw, kayaknya lo suka banget makan gudeg.”

“Iya. Pertama kali nyoba langsung suka,” angguk Keilana kuat. Ia menyodorkan sepiring gudeg ke arah Riga. “Kak Riga juga suka kan?”

Riga hanya tersenyum simpul sambil berusaha memasukan potongan nangka kecoklatan itu ke dalam mulutnya. Manis…. Terlalu manis…. Riga tidak suka. Bagaimana bisa ada manusia yang bertahan makan sayur semanis ini? Sungguh, ia gagal paham. 

“Aku pertama kali makan gudeg gara-gara ditraktir Om Danu loh, Kak. Waktu itu aku diajak ke restoran mahal. Terus akunya malu-maluin banget. Masa makan gudeg pake tangan.”

“Ya bener dong pake tangan. Masa makan pake idung?”

Keilana merengut. “Bukan gitu maksudnya, Kak…. Kan ada sendok sama garpu.”

“Nggak apa-apa, Kei. Semuanya butuh proses dan penyesuaian. Latar belakang lo kan emang rada beda. Kalo gue sih maklum.”

Latar belakang berbeda….

Entah kenapa, ulu hati Keilana terasa tertohok dengan perkataan itu. Marah? Tidak! Bukan sama sekali. Itu fakta. Hanya saja, ia mendadak tersadar sejenak tentang perbedaan status sosial itu. Aluminium selamanya tidak akan bisa naik kelas jadi logam mulia….

“Yang terpenting, lo harus tetep belajar biar nggak ketinggalan. Lo harus bisa beradaptasi dengan cepat biar nggak terlalu kaku di lingkungan baru,” sambung Riga membuyarkan lamunan Keilana.

“Iya, Kak,” angguk Keilana pelan. Ia melirik gudeg di piring Riga. “Enak nggak?”

“Enak. Soalnya makannya ditemenin Keilana.”

Wajah Keilana memerah. “Ih, apaan sih, Kak.”

“Eh, makan sendirian nggak enak tau. Gue seneng ada yang nemenin gini.”

“Mas Riga,” panggil Bi Marni tiba-tiba muncul dengan satu piring nasi goreng. “Ini buat Mas Riga. Dimakan, ya.”

“Loh, aku kan nggak minta.”

Bi Marni tidak menyahut. Ia malah mengambil gudeg di tangan Riga yang membuat Keilana bingung.  Perempuan itu menyengir sebelum berkata, “Mas Riga nggak suka gudeg, Neng. Permisi.”

Seketika Keilana menatap Riga dengan sorot mata kurang suka.

“Kok nggak bilang?!”

Riga mengangkat bahu. “Gue pengen belajar suka apa yang lo suka.”

“Nggak perlu, Kak. Kalo nggak suka, ya udah. Nggak apa-apa. Aku juga nggak bisa maksa. Buat apa sih Kak Riga maksain diri buat suka?”

“Ummm…,” gumam Riga sejenak.

Tiba-tiba ia mendekati wajah Keilana hingga hidung mereka nyaris bersentuhan. Gadis itu terkejut. Terlalu terkejut hingga hanya bisa mematung tanpa sempat menghindar. Riga menatap bola mata gadis itu lekat-lekat, tanpa suara. Hening, sampai-sampai ia bisa merasakan debaran di dadanya yang menguat.

“Gue udah bilang, kan?”

Keilana menelan ludah. “Bi-bilang apa?”

“Lo udah ngerasain sesuatu belom?”

Oh, sekarang Keilana paham…. Sial! Itu malah membuatnya tak berkutik.

“Kok nggak jawab?” tanya Riga lagi.

Hening.

“Kita udah sering sama-sama. Masa lo belum ngerasain apapun?”

“Emmm… itu….”

Drrrtttt!

Getaran dan deringan ponsel membuat suasana awkward itu perlahan normal. Ehem! Setelah berdehem kecil, cepat-cepat Keilana melahap makanannya. Sementara itu, Riga menghela napas begitu membaca nama sang mama di layar.

“Halo, Ma.”

“Kamu di mana, Riga?”

“Lagi makan di halaman belakang. Ntar Mama pulang jam berapa?”

“Kamu dan Keilana, temui mama sekarang di ruang tamu.”

♪♫♪

Sebuah pembicaraan sengit terdengar dari mobil yang tengah memasuki halaman.

“Mama nggak suka. Keilana bawa pengaruh buruk buat Riga dan Biru.”

Pengaruh buruk apa sih, Ma? Nggak mungkin lah Keilana bisa kasih pengaruh ke Riga sama Biru. Tau kan mereka kepala batu semua? Keras memegang prinsip.”

Bu Tika mengusap wajahnya dengan frustasi.

“Pa, denger. Riga ngamen. Videonya viral di TikTok sampai Instagram! Tadi jadi bahan gosip waktu arisan. Mereka jadi mikir aneh-aneh. Ada yang bilang, kita kurang kasih fasilitas sama perhatian buat anak-anak. Apa Papa nggak malu?!” ucap Bu Tika keluar mobil.

Cerita yang berapi-api dan emosional itu malah membuat Pak Danu tertawa keras dari seberang sana. Kelakuannya membuat wajah Bu Tika kian masam. Jengkelnya meningkat drastis ke beberapa level sekaligus. Terlebih lagi, ia melihat betapa akrabnya Riga dan Keilana melalui rekaman CCTV di ponselnya yang lain.

“Kok Papa malah ketawa sih?!”

“Riga Cuma pengen cari hiburan mungkin, Ma. Biarin aja.”

“Cari hiburan kok ngamen?! Kan bisa main golf, shopping, atau breakfast ke Tokyo!” sambar Bu Tika sengit. 

“Tenang dulu, Ma.“

Pupil Bu Tika membesar. “Pa! Gimana mama bisa tenang! Riga sama Keilana udah mulai macem-macem di rumah!”

“Macem-macem gimana, Ma?”

“Nggak bisa dibiarin! Pa, mama nggak mau Keilana tinggal di sini lagi. Anak itu harus balik ke tempatnya!”

“Kita bi—“

Tuuuuuutttttt….

Nada panjang mengakhiri obrolan via ponsel itu. Bu Tika memblokir nomor suaminya. Ia terlanjur kesal dan tidak mau bicara apapun lagi dengan suaminya perihal Keilana. Gadis itu harus angkat kaki dari rumah! Itu sudah jadi keputusannya yang tidak bisa diganggu gugat!

Dengan jengkel, ia menghubungi Riga.

“Halo, Ma.”

“Kamu di mana, Riga?” Sebuah pertanyaan basa-basi.

“Lagi makan di halaman belakang. Ntar Mama pulang jam berapa?”

“Kamu dan Keilana, temui mama sekarang di ruang tamu.”

Bu Tika menghempaskan tubuh di sofa sambil menunggu kedatangan anaknya. Wajah cantik itu berkerut-kerut menahan amarah. Tapi satu hal, ia tidak ingin marah mengamuk seperti tempo hari. Tenangkan diri, lakukan dengan smooth dan elegan.

“Kenapa, Ma?” tanya Riga yang baru muncul bersama Keilana.

“Duduk,” ucap Bu Tika mengarahkan dagunya pada sofa. Setelah keduanya duduk manis, ia menarik napas panjang lalu memandang Riga. “Kamu tau kenapa mama panggil kamu?”

Riga menggeleng.

“Ke mana kamu kemarin sama Keilana?”

“Jalan-jalan,” jawab Riga singkat.

Jawaban Riga membuat rahang Bu Tika mengeras. “Mama nggak pernah ngajarin kamu untuk bohong.”

“Kak Riga pengen ngerasain ngamen, Tante. Makanya kemarin dia minta saya temenin,” sela Keilana tiba-tiba. Ia sudah tahu hal ini akan terjadi. Lebih baik jujur daripada makin dipojokkan karena sebuah kebohongan. Riga juga terlihat santai saat Keilana mengatakan itu.

Tangan Bu Tika terlipat di dada.

“Video kamu viral,” ucapnya dingin.

“Iya, Ma. Riga tau.”

“Kamu tau nggak apa yang temen mama bilang?” tanya Bu Tika terlihat sarkastik. Karena tidak ada sahutan, ia melanjutkan, “Katanya, mama kurang kasih uang, fasilitas, sama kasih sayang buat anak-anak.”

“Ya ampun, Ma. Kenapa sih harus peduli banget sama perkataan orang?”

“Mama harus peduli. Image mama penting untuk branding produk premium jewellery.”

“Emang mereka peduli sama anggota keluarga owner? Kalo produk mama keren, mau mama anggota keluarganya Kim Jong Un pun orang nggak akan peduli. Liat tuh kue kekinian artis-artis. Awet semua nggak? Nggak kan? Itu tandanya, image dan nama besar doang belum cukup. Orang lebih peduli sama kualitas.”

Penjelasan panjang lebar Riga membuat Bu Tika memijat kepalanya.

“Riga, denger…. Mama nggak mau kamu ngamen lagi. Emang uang dari mama sama papa kurang? Kalo kurang, bilang.”

“Bukan masalah uang, Ma. Riga cuma butuh sedikit kesenangan aja kok.”

“Jalanan itu keras, Riga! Hiburan macam apa yang kamu cari?!” Akhirnya Bu Tika tidak bisa menahan nada suaranya yang mulai melejit.

Something different, Ma. Lagian ada Kei yang udah expert soal jalanan.”

“That’s the problem!” Tiba-tiba Bu Tika mengarahkan telunjuknya pada Keilana. “Kamu…. Kamu bisa tinggal di apartemen lagi mulai malam ini.”

Riga terkesiap. “Ma! Kok jadi Kei yang kena?!”

“Kak….” Kei menyentuh tangan Riga sambil tersenyum. “Nggak apa-apa. Aku juga lebih betah di apartemen.”

“Oh, bagus. Jadi saya tidak perlu susah payah nyuruh kamu balik ke sana,” ucap Bu Tika terlihat senang. Ia berteriak untuk memanggil driver. Setelah driver datang, wanita cantik itu menunjuk Keilana. “Pak, tolong antar Kei ke apartemennya.”

“Sekarang, Bu?”

“Nggak. Tunggu Kei selesai beresin barang dulu. Kamu stand by, ya.”

“Siap, Bu,” angguk Mang Agus—driver Bu Tika.

Keilana bangkit. “Kalo gitu, saya ke kamar dulu.”

“Kei!” tahan Riga menggenggam tangan gadis itu. Ia menatap Kei sambil menggelengkan kepala. Meminta gadis itu tetap tinggal di sana. Namun gadis itu hanya menepis tangan Riga dengan wajah sedikit lesu.

“Permisi, Kak.”

♪♫♪

Keilana memeluk bowl kaca berisi Lifebuoy dan Dettol—kura-kura Brazil peliharaannya. Ia menghirup aroma kamarnya dalam-dalam. Wangi lavender… Riga yang memilihkan itu untuknya. Katanya, biar semakin semangat belajar. Sebagai penenang dan aromaterapi di kamar. Nyatanya perkara tenang ini bukan hanya tentang esensial oil beraroma lavender. Ribuan liter wewangian pun tidak akan sanggup memberikan ketenangan hati yang sesungguhnya jika ia masih berada di tempat yang salah.

“Hhhhh….”

Gadis itu menghela napas panjang. Ia mengingat harus menghubungi siapa sebelum angkat kaki dari rumah. Seseorang yang sangat berjasa hingga membuatnya bisa menikmati hidup dan pendidikan yang layak. Siapa lagi kalau bukan Pak Danu?

“Halo, Keilana.”

Suara Pak Danu membuat Keilana terdiam sejenak. Sedikit berat rasanya berpamitan….

“Halo, Om…. Maaf telpon malem-malem.”

“Nggak masalah. Ada apa memangnya?”

“Emm….” Kalimat Keilana mengambang. Ia mengelus tengkuknya. Gugup.

“Kenapa?”

“Saya pamit ya, Om.”

“Lho?! Kamu mau ke mana?!” Suara Pak Danu mendadak meninggi.

“Saya mau balik ke apartemen aja, Om….”

“Kenapa? Nggak betah di rumah? Tante Tika ada ngomong apa sama kamu?”

“Nggak ngomong apa-apa kok, Om. Emang sayanya aja yang pengen balik ke apartemen. Nggak enak kelamaan numpang di rumah Om. Lebih bebas juga rasanya di apartemen. Lagian, saya sama Biru juga udah mulai bisa akur.”

“Oh…,” desah Pak Danu pelan. Ia menghela napas. “Ya sudah kalau itu memang jadi keputusan kamu.”

“Makasih, Om. Kei pamit, ya.”

“Sesekali ke rumah, ya. Jangan lupa, telpon kalau ada apa-apa.”

“Iya, Om.”

Lagi-lagi Keilana menarik napas panjang. Dua koper barang sudah ia kemasi. Tertatih-tatih, ia menyeret satu koper besar dengan memeluk bowl kaca berisi kura-kura di tangan kiri. Tiba-tiba langkahnya terhenti sebelum mencapai pintu. Sosok Riga berdiri di sana dengan wajah muram.

“Lo beneran mau pergi?”

Keilana mengangguk.

“Kalo gue nahan, lo tetep pergi?” tanya Riga berjalan mendekati Kei.

“Iya,” sahut Keilana tiba-tiba tersenyum. “Kak, santai aja. Aku kan cuma balik ke apartemen. Kan Kak Riga juga tau apartemenku di mana.”

“Iya juga, ya.” Riga terkekeh-kekeh. Ia mengambil bowl dari tangan Keilana sebelum memeluk gadis itu kuat-kuat. “Galakan mana? Mama atau satpol PP?”

“Masih galakan satpol PP yang ngejar aku dulu. Tante Tika mah masih nggak seberapa, Kak,” sahut Keilana tertawa dalam dekapan Riga. “Oh ya, Kak. Makasih ya bunganya.”

Pelukan Riga melonggar. Pemuda itu menatapnya dengan alis nyaris beradu.

“Bunga?”

Keilana mengangguk polos. Ia menunjuk satu buket bunga mawar di nakas yang belum bisa terbawa olehnya.

“Nggak ada nama pengirimnya sih. Tapi kayaknya dari Kak Riga. Iya, kan?”

“Oh… Hahahaha!” tawa Riga tiba-tiba sebelum mengangguk. “Iya…. Suka?”

“Suka. Makasih udah kasih semangat pagi-pagi.”

Riga menghela napas. “Kei….”

“Ya, Kak?”

“Gue harap lo nggak terlalu masukin ke hati, ya. Mama tuh sebenernya baik. Lo cuma belum dipertemukan dengan kebaikan beliau. Tapi gue yakin, kelak pasti mama bisa nerima lo dengan baik.”

“Iya, Kak. Semoga,” sahut Keilana pelan. Ia melirik jam dinding. “Udah jam dua belas, Kak. Aku pamit, ya.”

Bak kisah Cinderella, Keilana meninggalkan istana di tengah malam bersama dua kura-kuranya. Kembali menjalani kehidupan normal di luar sana tanpa pelayan, tanpa kemewahan. Tidak ada sepatu kaca yang ketinggalan sebelah. Yang tertinggal hanyalah kenangan tentang Biru yang sejujurnya tidak ingin ia ingat….

♪♫♪

Menangis? Untuk apa?

Keilana tidak terlalu bersedih meninggalkan rumah itu. Toh sejak awal pun ia memang sudah menolak tinggal di sana. Kalau bukan karena paksaan Pak Danu, detik ini pasti ia masih hidup tenang di apartemen.

“Kok rada macet, ya? Tumben,” gumam Mang Agus.

Lamunan Keilana terdistraksi. Ia melongok hati-hati keluar jendela. Di depan sana, samar-samar ia melihat sebuah mobil hitam terbalik di sisi jalan. Bibirnya membulat. Posisi dan kondisi mobil hitam yang cukup memprihatinkan itu membuatnya bergidik ngeri. Cepat-cepat ia menutup kembali jendela mobil.

“Ada kecelakaan di depan.”

“Ow, pantesan Neng,” sahut Mang Agus melajukan mobil pelan-pelan. “Biasanya yang kecelakaan di situ tengah malem, pasti abis pulang dari disko. Mabora mabora gitu, Neng.”

“Mabok?”

“Iya. Kalo bahasa gaulnya nih Neng, namanya senoparty.”

Keilana tertawa. “Tau aja sih Mang!”

“Tau dong Neng. Kan Mamang udah lama jadi sopir. Udah apal lah ama yang beginian,” ucap Mang Agus santai. Perlahan, mobil mereka melaju kian dekat dengan TKP. Mata Mang Agus menyipit. “Neng, mobilnya kayak kenal….”

“Hah? Temennya Mamang?” tanya Keilana polos.

Lelaki itu tidak menjawab. Laju mobil yang semakin pelan membuatnya bisa fokus pada mobil hitam itu. Ketika melewati benda ringsek itu, mata Mang Agus dan Keilana sama-sama membelalak shock.

“BIRU???!!!”

Anemoia

“Nostalgia for a time you’ve never known.”

“Kak Riga! Tunggu!”

Biru termangu melihat dirinya sendiri—dalam versi bocah berusia sembilan tahun—berlari mengejar sosok Riga. Ia tersandung, jatuh terguling-guling di tanah berumput.

“Kak Riga!” seru Biru kecil sambil menahan tangis.

Berkali-kali ia memanggil kakaknya, tapi nihil. Semakin menjauh sosok Riga, semakin tercekat pula tenggorokannya. Lambat laun, Biru kecil itu menangis tersedu-sedu di tengah rerumputan. Sendirian.

“Masa kecilnya sulit, ya?” tanya seorang kakek.

Biru terkesiap. Ia sedikit terkejut melihat seorang kakek berpakaian putih bersih berdiri di sampingnya. Kakek itu terkekeh-kekeh, terlihat menikmati sorot mata kebingungan Biru.

“Riga nakal sekali waktu kecil. Dia sering tinggalin kamu sendirian sampai kamu nangis ketakutan. Kakek ingat, dulu dia pernah tinggalin kamu waktu hujan petir. Kamu trauma kan sampai sekarang?”

“Kakek siapa?”

“Kakek kamu, Biru…,” balas sang kakek tertawa lepas. Ia menggamit lengan Biru. Mengajak pemuda itu duduk di bawah pohon rindang di pinggiran padang rumput. “Kakek yang kasih nama Albiru Kavi ke kamu. Kamu tau artinya?”

Biru mengangguk pelan.

“Penyair yang penyayang dan penuh kebaikan.”

Sang kakek menghela napas. “Sepertinya harapan kakek nggak terkabul.”

“Maksudnya?”

“Lihat diri kamu, Biru. Kamu pendendam, pemarah. Kakek kangen Biru yang dulu,” ucap sang kakek dengan tatapan menerawang ke langit yang kelabu. “Tapi kakek tidak bisa menyalahkan kamu. Memang cerita hidup yang membuat Biru berubah.”

Penuturan kakek membuat Biru mengangguk-angguk. Ia terdiam sejenak. Berlagak paham dan baik-baik saja, padahal… matanya sudah berkaca-kaca. Airmatanya menggenang di pelupuk, terlalu sulit ditahan. Yang dikatakan sang kakek benar adanya. Ia tersakiti oleh banyak hal di masa kecil. Riga yang selalu meninggalkannya dalam ketakutan hingga ia menangis terisak dalam kegelapan dan kesendirian. Ibu yang selalu menuntut kesempurnaan sekaligus menempatkan Riga di atas segalanya. Terlalu banyak perbandingan yang membuat mentalnya membusuk. Lalu sang ayah… pria itu terlalu sibuk bekerja sampai lupa kalau punya anak yang butuh kasih sayang. Belum lagi orang lain yang selalu menganggapnya lebih buruk daripada Riga.

Ada yang rumpang dalam hidupnya….

Bukan salah Biru….

Bukan mau Biru kenapa sampai berubah….

Biru terdiam. Ia jarang bertemu sang kakek, tapi sekalinya bertemu… sang kakek malah memperjelas ruang kosong dalam hidupnya.

“Aku capek….”

“Rehat sebentar. Nanti kalau sudah pulih, kamu harus semangat lagi, ya?”

“Aku mau tinggal sama Kakek. Di sini tenang….”

“Boleh,” jawab sang kakek tersenyum. Tangan keriput itu masih mengelus punggung tegap sang cucu. “Tapi nanti, kalau waktunya tiba.”

“Kapan tepatnya?” tanya Biru sambil mengusap air matanya dengan punggung tangan.

Sang kakek menunjuk ke satu arah. Dari sana, seorang gadis berpakaian biru berjalan ke arahnya dengan senyum sesegar buah cherry. Helaian rambut kecoklatannya berkibar-kibar seiring dengan langkahnya yang kian riang.

“Keilana?” gumam Biru dengan alis bertaut.

“Biru, ikut gue yuk,” ajak Keilana mengulurkan tangannya.

“Kok lo tau gue di sini?”

“Yang ngirim real time location kan elo. Kenapa nanya balik?”

Biru melongo. Oh God… sejak kapan Keilana paham soal teknologi?

“Biru,” panggil sang kakek menyentuh pundaknya lembut. “Keilana akan membawa kamu ke tempat yang lebih indah dan tenang. Sekarang kamu ikut dia dulu. Jangan khawatir, nanti Biru akan tinggal dengan kakek jika waktunya tiba. Tapi bukan sekarang. Paham?”

Pesan dari kakek membuat Keilana kembali menjulurkan tangannya.

“Ayo,” senyum gadis itu manis.

“Kata sandi? Lo masih inget?”

Keilana menggenggam kedua tangan Biru dengan lembut. Menatap dalam-dalam hingga hati pemuda itu terasa lebih sejuk. Seperti ada angin menenangkan yang membuat hati Biru tenang. Ia… ingin terus seperti ini…. 

“Birulana.”

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *