Mozaik 20 Darah O

“Pasien menderita pendarahan. Kondisi melemah.”

“Pasien butuh transfusi darah! Golongan darah O+. Sekarang.”

“Kabari keluarganya!”

Pintu terbuka, mengejutkan Keilana yang sedari tadi duduk sambil berkomat-kamit merapalkan doa dengan mata berkaca-kaca. Wajah mungil itu terlihat sangat takut, pucat, dan panik. Khawatir kalau-kalau orang ia sayangi lunas nyawanya dengan cara tragis. Refleks ia bangkit. Nyaris saja ia merangsek masuk ke ruangan kalau tidak di tahan oleh salah satu tim medis.

“Maaf, Mbak. Dokter sedang berusaha. Mohon tetap tunggu.”

Keilana mengangguk dengan airmata nyaris tumpah. “Mbak, gimana keadaan Biru?”

“Anda keluarga pasien?”

“Iya, Mbak. Kenapa?”

“Dia butuh transfusi darah O+.”

Tanpa pikir panjang, Keilana menyodorkan tangannya. “Aku O juga.”

“Ikut saya sekarang.”

Semua terjadi begitu cepat. Sorot mata Keilana menerawang ke langit-langit ruangan serba putih itu. Entah berapa cc darahnya yang terhisap keluar dari tubuh. Terus terang, ia tidak peduli asalkan Biru bisa selamat. Perawat belum membolehkannya bangun. Dan inilah ia sekarang, terbaring dengan perasaan bercampur aduk. Berharap Biru bisa melewati masa kritis agar tetesan darahnya tidak keluar dengan sia-sia.

Di luar ruangan, ia mendengar suara Bu Tika yang menangis sambil berkali-kali menyebut nama Biru. Riga sibuk menenangkan ibunya, meskipun suara pemuda itu terdengar sama paniknya. Keilana menghela napas. Memejamkan matanya sejenak, lalu berimajinasi seolah ia bertemu dengan Biru di sebuah tempat antah berantah.

“Biru… bangun,” ucap Keilana lirih, bermonolog di pembaringan.

“Lo denger, kan? Meskipun lo nyebelin, tapi orang-orang pada sayang kok sama lo. Gue juga. Walau kadang gue pengen bejek-bejek muka lo, tapi gue nggak bisa liat lo kayak gini…. Lo hargain dong usaha gue. Sumpah, gue takut banget sama jarum gede. Tapi demi lo, gue sampe bela-belain nahan takut sama sakit. Awas aja kalo lo nggak bangun, gue isep lagi darah yang udah gue donorin. Gue bakal gampar lo sampai bangun.”

Stupid.

Keilana membuka matanya.

“Tuhan, tolong selametin nyawa pangeran penolong aku….”

Keilana bertahan dalam posisi yang sama selama bermenit-menit. Setelah dirasa cukup, perlahan ia bangkit. Merapikan rambut dan pakaiannya sebelum melangkah sedikit sempoyongan keluar. Bukan soal donor darah itu yang jadi masalah utama. Kondisi Biru adalah hal yang paling membebani hati dan pikirannya saat ini. Setengah mati ia berusaha menenangkan diri, meyakinkan hati bahwa semuanya akan baik-baik saja. Namun semakin ia memikirkan keadaan Biru, semakin berat kepalanya dan kian lemas pula kedua tungkainya.

“Kei….”

Gadis itu mendongak. Ia mengerjap dan diam. Tak mengatakan apapun karena pikirannya kacau. Ia kembali menunduk dan mengayunkan langkah dengan gontai. Namun langkah itu terhenti karena Riga menggenggam tangannya.

“Makan dulu,” pinta Riga pelan.

“Nggak laper, Kak….”

Riga menarik tangan Keilana agar mau duduk. Setelah gadis itu duduk, Riga membungkuk hingga tatapan hangatnya sejajar. Ia meletakkan sekotak susu, sebotol air mineral, dan satu kotak bento. “Lo habis donor darah. Please, makan ya?”

Akhirnya Keilana mengangguk. Ia terlihat lemas dan lemah saat mengambil susu kotak di pangkuannya. Disedotnya perlahan hingga susu itu tandas. Ia menyerahkan kotak susu kosong itu pada Riga sambil bertanya, “Biru gimana?”

“Berdoa aja, ya.”

Mata Keilana mulai memanas lagi. “Ntar kalo Biru nggak bangun gimana?”

“Dia bakal bangun. Oke? Biru kuat kok,” ucap Riga berusaha menenangkan Keilana. Berlagak kuat padahal hatinya lebih panik. Ia menyentuh punggung tangan gadis itu. “Lo makan dulu. Gue mau nemuin mama.”

♪♫♪

Sembilan jam berlalu.

Sudah pukul sembilan pagi, tapi belum ada tanda-tanda Biru akan bangun. Pemuda itu masih tergolek tidak sadarkan diri di ruang ICU. Sementara itu, Keilana duduk bersandar dengan bagian bawah mata yang menghitam karena kurang tidur. Ia memandang Bu Tika yang duduk tidak jauh darinya. Keadaan wanita itu tidak terlihat lebih baik. Mata Bu Tika bengkak, sembab karena menangis semalaman. Wajahnya pucat dan lesu karena mengkhawatirkan kondisi anaknya. Bahkan untuk makan pun, ia tidak bisa. Sejak tadi, wanita itu menolak semua makanan yang disodorkan Riga. Yang ia inginkan hanyalah Biru sadar saat ini juga. 

Ddrrrttttt….

Ponsel Keilana bergetar. Gadis itu meraih ponselnya dengan lemah.

“Iya, halo,” sapanya pelan.

“Kei, gimana keadaan Biru?”

“Belum bangun,” jawab Keilana lemas. “Lo udah mau berangkat ke kampus? Gue nggak kuliah dulu ya hari ini….”

“Belom. Gue lagi jalan ke situ. Bentar lagi sampe.”

“Lo mau dateng ke rumah sakit?”

“Iya, gue sama Zara. Ntar chat gue ya ada di ruangan mana,” pinta Dian.

Keilana menghela napas. Ia mengetik pesan sesuai permintaan Dian sambil bertanya-tanya dalam hati, apakah momen ini akan jadi momen balikan bagi Zara dan Biru? Pikirannya yang lain berkata, yah… mungkin saja kalau Biru sudah sadar. Lagipula, Bu Tika terlihat sangat menyukai Zara yang jelas bibit, bobot, dan bebetnya. Mungkin Biru akan senang melihat kehadiran Zara ketika sadar nanti….

Pintu ruangan terbuka. Riga muncul dari sana dan menghampiri Keilana.

“Biru belum bangun?”

Riga menggeleng. “Lo mau liat Biru?”

“Mau,” angguk Keilana menatap Riga penuh harap. “Boleh?”

“Gue anter,” ucap Riga memberi isyarat agar Keilana mengikutinya.

Dengan hati-hati, Riga membuka pintu. Membiarkan Keilana masuk sendirian ke ruangan itu. Langkah Keilana gontai. Menghampiri Biru dengan kesedihan mendalam. Perlahan, ia duduk di samping pembaringan.

“Biru….”

Bisu.

“Kapan lo mau bangun? Nggak kasian sama kita yang udah nungguin?”

Hening.

“Lo nggak boleh bikin pengorbanan gue sia-sia, ya. Gue udah bela-belain lemes cuma buat donorin darah ke lo. Masa lo masih gak mau bangun?” cerocos Keilana sambil memandang wajah Biru. Ia menghela napas. “Gue boleh pegang tangan lo nggak?”

Senyap.

Ragu-ragu, Keilana menyentuh tangan Biru.

“Gue punya banyak cerita soal lo. Cerita gimana gue kagum sama lo, ya walaupun lo emang nyebelin sumpah sih. Aselik, parah banget. Tapi gue tau, lo orangnya baik. Buktinya lo mau nolongin gue waktu itu…. Lo juga dermawan, persis Om Danu. Bedanya, lo dingin. Masa ngasih sumbangan pake muka jutek gitu? Kan orang bisa salah paham. Rasanya gue pengen banget ajarin lo gimana caranya senyum sama ketawa yang ramah. Makanya lo bangun dong biar gue bisa ngajarin….”

Keilana menarik napas panjang. Sekarang ia menggenggam tangan Biru.

“Biru….”

Sepi.

“Biru… bangun, ya?” pintanya sambil menenggelamkan wajah di antara genggaman tangan itu. Matanya terpejam. “Kalo lo bangun, gue bakal kasih tau satu rahasia gue tentang lo.”

Masih senyap.

Tiba-tiba….

“Rahasia apa?”

Satu suara parau nan lirih menyahutnya. Seketika Keilana membuka matanya dengan jantung yang nyaris jatuh ke tanah. Kepalanya menoleh cepat ke sumber suara.

“Biru?! Lo udah bangun?!” ucap Keilana melonjak terkejut. Genggaman itu terlepas. Matanya berbinar bahagia dengan senyum merekah. Ia berteriak, “Kak Riga! Tante Tika! Biru udah bangun!”

Teriakan itu membuat telinga Bu Tika dan Riga tegak. Keduanya melesat memasuki ruang ICU dengan wajah terharu. Semuanya bersukacita karena Biru sadar. Bu Tika menciumi anaknya itu hingga Biru mengerang risih. Riga hanya berdiri di samping Keilana sambil tersenyum senang. Ketika dokter dan perawat masuk, Keilana memilih untuk keluar. Namun tak disangka, ia bertemu dengan Dian dan Zara di luar sana.

“Kei,” sapa Dian melambaikan tangan.

“Gimana keadaan Biru? Kenapa dokter masuk mendadak? Biru nggak kenapa-kenapa, kan?” sambar Zara menghujani pertanyaan dengan wajah panik.

“Biru udah bangun, Kak.”

“Thank God…,” ucap Zara lega sambil mengusap kedua wajahnya. “Gimana ceritanya dia bisa kecelakaan?”

Keilana mengangkat bahunya. Jujur, ia tidak tahu apapun tentang cerita kecelakaan itu. Ia terlalu sibuk bersedih sampai tidak kepikiran untuk mencari tahu. Lagipula tidak ada yang bercerita padanya. Semalam, ia hanya mendengar perkataan dari para polisi kalau Biru bau alkohol. Hanya itu yang Keilana tahu.

“Lo udah semaleman di sini tapi belom tau penyebab kecelakaan Biru?” tanya Zara dengan sorot mata tidak percaya.

Keilana menggeleng. “Aku donor darah buat Biru. Disuruh makan, terus disuruh istirahat. Nggak ada yang cerita ke aku gimana kejadiannya. Tapi… kata bapak polisi semalem sih, Biru bau alkohol.”

Bibir Zara membulat.

Ya! Ia tahu pasti di mana Biru semalam. Ia juga tahu berapa gelas tequila yang Biru tenggak semalam. Dan bagian yang paling menyedihkan… ia tentu masih ingat betul bagaimana Biru mematahkan hatinya di malam yang sama. Shit! Harusnya gue temenin Biru sampe dia balik, pikir Zara merutuki kebodohannya. 

Tiba-tiba pintu ruangan terbuka. Memunculkan sosok Riga di sana.

“Dian? Zara?” ucap Riga sedikit terkejut. Ia lebih terkejut lagi melihat Jeno yang berjalan cepat dari ujung lorong. Ia melambaikan tangan, “No!”

“Hei…. Sorry baru dateng. Gue baru tau,” sahut Jeno mengatur napas. “Kok nggak ada yang ngabarin gue sih?! Gue taunya malah dari instagram!”

Sorry, No. Gue nggak sempet ngabarin.”

“Nggak apa-apa. Gimana keadaan Biru?”

“Baru banget sadar. Pas banget lo dateng.”

Jeno menarik napas lega.

“Semalem lo pergi sama Biru, kan?” sambung Riga menyelidiki.

“Iya. Tapi dia pulang duluan,” angguk Jeno kemudian merapatkan tubuhnya pada Riga. Ia berbisik, “Dia mabok semalem.”

“Terus kenapa lo biarin dia pulang sendirian?” cecar Riga lagi.

“Itu dia masalahnya!” sambar Jeno menjentikkan jari. “Dia pulang diem-diem. Lo tau kan gue emang sibuk nge-DJ di sana? Pas gue meleng dikit, eh dia udah ngilang aja. Kalo aja gue cenayang, udah gue borgol tuh anak biar nggak nyetir sendirian mabok-mabok.”

“Sebenernya gue sempet sama Biru semalem di sana. Pas gue ajak ngobrol, dia udah mabok,” aku Zara pelan. Sebelum Riga menginterupsi, ia melanjutkan, “Tapi gue pulang duluan. Gue pikir juga Biru bakalan balik ama Jeno. I was wrong. Sorry.”

Mata Riga menyipit. “What did you do with him last night?”

“Come on, Auriga. I met him accidentally. Is that even important now?”

“Yes. It’s important. I’m afraid that you did something to satisfy your ego.”

Zara mendengus kesal. “Do I look like a criminal?”

“Kalian kenapa sih? Ini bukan waktunya ribut,” sela Jeno tidak suka.

“Kalian ngomong apa sih?” celetuk Keilana dengan wajah polos yang disambut oleh cubitan Dian di lengan kurusnya.

“Awww….” Keilana meringis sambil memelototi Dian. “Apa sih?”

“Kayaknya urusan sama polisi deh yang harus dikhawatirin sekarang,” ucap Dian mengabaikan pertanyaan bodoh Keilana. Ia menatap Riga. “Mengemudikan kendaraan dalam keadaan mabuk. Pasti kena pasal itu.”

“Biar relasi bokap yang urus.” jawab Riga sambil lalu.

“Gue boleh liat Biru nggak?” pinta Zara menyela Dian dan Riga.

“Boleh sih. Tapi gue nggak yakin Biru bakal seneng liat lo,” jawab Riga.

“Here we go again….”Dian menarik napas panjang. Ia menggamit lengan Keilana. “Lo belum tidur semaleman kan? Lo juga habis donor darah. Mending lo pulang, istirahat. Nggak lucu kalo abis ini lo yang masuk rumah sakit.”

“Ah, iya bener!” sahut Riga cepat. “Tapi lo nggak jadi jenguk Biru?”

Dian mengibaskan tangannya. “Kak Biru pasti butuh istirahat. Tau dia udah siuman aja cukup kok. Kayaknya lebih baik gue anter Kei pulang aja. Kasian.”

“Gue titip Kei, ya.”

“Oke,” angguk Dian. Ia menoleh pada Zara. “Lo bisa bareng Kak Jeno aja?”

Jeno mengacungkan jempol. “Lo tenang aja. Ntar gue anter Zara balik.”

“Ya udah, gue balik dulu,” pamit Dian menarik lengan Keilana.

Keduanya berjalan cepat menuju tempat parkir. Setelah duduk manis di jok, Keilana baru menyadari sesuatu. Ia menepuk jidatnya, membuat Dian melirik heran dan penuh tanda tanya.

“Kenapa lo?”

“Lifebuoy, Dettol, sama koper gue masih di mobil sama Mang Agus.”

Kening Dian mengernyit. “Ngapain lo bawa-bawa koper? Mau staycation di rumah sakit?”

Staycation apaan deh?”

“Nginep.”

“Ih! Nggak!”

“Terus?” cecar Dian sambil melajukan mobil.

“Nggak apa-apa,” geleng Keilana pelan. “Anterin gue ke apartemen aja, ya.”

Dian menghela napas. “Lo diusir?”

“Hehehe….”

♪♫♪

Seharian Keilana tertidur pulas di kamarnya yang sedikit berdebu. Dian meninggalkannya dengan satu porsi ayam bakar Taliwang, sekaleng susu steril, dan sebotol besar air mineral. Setidaknya Keilana tidak perlu keluar untuk membeli makanan ketika terbangun nanti.

Matahari kian tergelincir ke arah barat. Keilana masih terbang di alam mimpi, sampai akhirnya deringan ponsel membuatnya tersentak. Ia terjaga dengan mata membelalak karena terkejut. Ia kelabakan mencari ponsel di segala sudut. Ternyata benda kecil itu terjatuh di lantai. Setelah menemukannya, buru-buru ia menjawab panggilan tersebut.

“Halo, Kei. Lo lagi ngapain?” tanya Riga dari seberang sana.

“Oh….” Keilana mengusap wajah. “Baru bangun tidur.”

“Gue ganggu lo, ya?”

“Nggak apa-apa, Kak. Kenapa?”

“Lo bisa ke rumah sakit nggak abis ini?”

Keilana menatap jam dinding. Sudah hampir pukul empat sore. Ternyata dia tertidur selama itu….

“Bisa, Kak. Aku siap-siap dulu, ya.”

Tidak butuh waktu lama baginya untuk bersiap-siap. Kurang dari setengah jam, ia pun meluncur ke rumah sakit menggunakan ojek. Tangan kanannya menenteng bungkusan berisi nasi padang yang sengaja dibeli untuk Riga dan Bu Tika. Mungkin saja kan mereka belum makan?

Dengan hati-hati, Keilana mengetuk pintu ruangan.

“Sore,” sapa Keilana membuka pintu.

“Hei, cepet banget sampenya,” balas Riga sedikit terkejut.

“Ini aku bawain nasi padang,” ucap Keilana menyodorkan bungkusan. “Tante Tika mana?”

“Pulang. Kasian belum istirahat. Tapi bentar lagi juga dateng kok.”

“Kak Riga juga belum istirahat, kan?”

“Belum. Makanya gue minta tolong lo ke sini,” sahut Riga tersenyum. Ia menatap Biru yang diam sejak tadi.

“Apa?” tanya Biru datar.

“Lo gue tinggal sama Keilana, gpp kan? Ga bakal berantem, kan?”

“Pergi aja.”

“Oke,” angguk Riga mengalihkan fokus pada Keilana. “Gue titip Biru, ya. Tiga jam bisa?”

“Bisa, Kak. Dua belas jam juga bisa.”

“Ya udah. Gue pulang dulu bentar, ya,” pamit Riga kemudian meninggalkan Keilana dan Biru hanya berdua di ruangan yang terlihat mewah itu.

Sepeninggal Riga, Keilana dan Biru bertatapan dengan aneh.

“Lo mabok semalem?” tembak Keilana frontal.

“Bukan urusan lo.”

“Urusan gue lah. Gara-gara lo, darah gue keisep banyak! Untung aja lo bangun. Kalo nggak, udah nyesel gue donorin darah!”

Biru mengernyitkan dahi. “Emang gue minta lo donorin darah buat gue?”

“Enggak.”

“Terus kenapa nyalahin gue?”

“Bilang makasih kek!” sahut Keilana sengit.

“Lo nggak ikhlas? Nih, lo isep balik darah lo.”

Keilana mengelus dada sambil memejamkan mata. Hal terbodoh yang ia lakukan adalah mendonorkan darah pada orang yang sering menindasnya. Tuhan, bisa-bisanya gue ketemu orang ngeselin gini…, gerutunya dalam hati sambil menarik napas dalam-dalam. Lama-lama bisa kena darah tinggi kalau terus-terusan seperti ini.

“Kaki gue luka,” ucap Biru tiba-tiba.

“Oh.”

“Gue butuh bantuan selama masa pemulihan.”

Mata Keilana menyipit. “Lo mau ngrepotin gue lagi?”

“Pinter.”

“Nggak bisa,” tolak Keilana mentah-mentah. Sebelum Biru marah-marah, Keilana menyambung cepat, “ Gue udah nggak tinggal di rumah lo.”

Alis Biru bertaut. “Sejak kapan?”

“Sejak emak lo ngusir gue semalem.”

“Lo diusir? Kenapa?”

“Mana gue tau, tanyalah sama emak lo,” jawab Keilana mengangkat bahu. “Tapi gue mah seneng-seneng aja. Tinggal di apartemen lebih bebas.”

“Nggak. Lo nggak boleh pergi,” tahan Biru sambil meringis karena kakinya nyeri.

“Dih, suka-suka gue lah.”

“Pokoknya lo harus ngerawat gue!”

“Nggak mau. Gue bukan babu lo!” ucap Keilana tegas. Ia memandang Biru dengan tatapan jengkel. “Lo tuh ya, bangun-bangun malah ngajak berantem. Istirahat kek, makan kek. Kok bisa sih lo masih punya tenaga buat berantem? Lo nggak capek gangguin gue?”

“Nggak. Gue juga nggak anggep lo babu.”

“Terus ngapain nyuruh-nyuruh seenak jidat?”

“Anggep aja lo lagi balas budi ke bokap gue,” sahut Biru enteng.

“Utang budinya kan ke Om Danu, bukan ke elo.”

Perdebatan itu terhenti karena pintu terbuka. Wajah cantik Bu Tika hadir di sana dengan tampilan yang lebih segar daripada tadi pagi. Sayangnya, raut wajah itu sedikit berubah ketika melihat eksistensi Keilana di sana. Wanita cantik itu mengayunkan langkah mendekati keduanya.

“Biru,” ucapnya lembut. “Udah enakan?”

“Ma, Keilana tetep di rumah,” ucap Biru tiba-tiba hingga membuat Bu Tika terkesiap.

“Nggak. Aku balik ke apartemen aja.”

“Nggak. Lo nggak boleh ke mana-mana,” tolak Biru penuh penekanan. Ia memandang ibunya dengan penuh ketegasan. “Ma, aku mau Keilana tetap tinggal di rumah.”

Bu Tika menghela napas. “Kan kamu denger sendiri. Kei maunya pergi.”

“Kalo lo balik ke apartemen, gue ikut ke sana.”

“Jangan nyusahin gue,” balas Keilana ketus.

“Tujuan gue kan emang nyusahin lo.”

“Ya udah, lo cari aja korban lain.”

“Sudah! Sudah!” lerai Bu Tika gerah sendiri. Panas juga kupingnya mendengar perdebatan tidak berbobot itu. Ia memandangi Biru dan Keilana bergantian. Meskipun sudah dilerai, tetap saja keduanya masih bertatapan dengan sengit. Ia menghela napas.

“Keilana, kamu balik ke rumah,” ucap Bu Tika pasrah.

Gadis itu melongo. “Tapi Tante—“

Please…,” sambar Biru cepat.

Keilana tertegun. Untuk pertama kalinya ia mendengar Biru memohon….

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *