Selain Wregas Bhanuteja dan Loeloe Hendra, masih ada nama-nama lain seperti Gregorius Arya Dhipayana, Tara Basro, Arifin Putra, Muh. Rashidy Ariefiensyah, dan Aditya Ahmad yang diterima masuk Berlinale Talent Campus, yaitu rangkaian kelas dan forum diskusi untuk berbagai lini perfilman, meliputi produksi, distribusi, juga apresiasi. Sejumlah nama penggiat film Tanah Air ini sudah barang tentu wajib hukumnya untuk bertandang ke negeri Jerman tempat helatan festival film internasional ini diselenggarakan. Namun, tatkala para insan perfilman ini mengajukan bantuan kepada pemerintah, dalam hal ini Kementerian Pariwisata (Kemenpar), agar biaya keberangkatan mereka disponsori, sama sekali tak digubris oleh pihak-pihak pejabat yang berkaitanb.
Saya berbincang dengan Robby Ertanto Soediskam, ketua bidang festival film luar negeri di Badan Perfilman Indonesia (BPI) untuk mencari titik terang soal apa sebenarnya yang terjadi. Robby mengaku, pada satu kesempatan rapat dengan para petinggi Kemenpar, ia sempat meminta agar Wregas Bhanuteja dan Loeloe Hendra dibantu secara finansial agar mereka dapat berangkat ke Berlin tanpa hambatan berarti. Namun, alih-alih mendapatkan dukungan nyata, Direktur Pengembangan Industri Perfilman Armein Firmansyah menjawab, “Oh kita nggak ada dana untuk itu. Kita akan buka booth di sana.” Sungguh, sebuah jawaban yang mencengangkan, mengingat anggaran biaya untuk membuka booth yang dimaksud tak kurang dari Rp 1,5 miliar. Yang lebih mencengangkan lagi, alih-alih memberangkatkan para insan perfilman Indonesia peserta Berlinale yang semestinya didukung penuh, Kemenpar lewat Pimpinan Delegasi RI, Armein Firmansyah, memiliki daftar nama-nama sendiri yang hendak diberangkatkan. Berikut 10 nama yang telah disetujui secara resmi untuk diberangkatkan:
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
1. Direktur Pengembangan Industri Perfilman Armein Firmansyah, Pimpinan delegasi RI
2. Produser film Harry Pryomitro Simon
3. Produser film Hemant Kumar Hashmatra Mirpun
4. PPFI Evi Hapiah Salampessy
5. Staf Direktorat Pengembangan Industri Perfilman Andi Umi Pratiwi
6. Aktris Sarah Astriani
7. Aktris Waliana Achmad May
8. Aktor PPFI Subagyo Hutapea
9. Komunitas film Ronggur Kurnia Oloan Nasution
10. Pengamat film Tini Afianti
Ketika dokumen berisi 10 nama tersebut bocor ke publik lewat cuitan sutradara Joko Anwar di Twitter, Selasa (3/2/2015), para penggiat film di Tanah Air pun sontak heboh, geram, sekaligus marah dan lantas banyak di antara mereka yang melampiaskan kekesalan. “Itu delegasi urusan apa? Punya potensi apa delegasi-delegasi itu khususnya wakil aktris/aktor yang namanya pun gue baru lihat hari ini sepanjang 30 tahun lebih gue berkarir di film?!” demikian dengan masygul aktor kawakan Tio Pakusadewo melontarkan reaksinya dalam perbincangan lewat telepon. “Saya sebagai penonton film Indonesia juga enggak kenal dengan nama-nama di atas. Siapakah mereka?” tanya penulis skenario Swastika Nohara terheran-heran.
Hari ini (Rabu, 4/2/2105) tepatnya pukul 14.00 WIB sejumlah aktor, aktris, sineas, dan praktisi film berencana untuk mendatangi Gedung Film di Jalan M.T. Haryono, Jakarta untuk menyampaikan pernyataan sikap terhadap dugaan adanya penyelewengan pejabat pemerintah khususnya di departemen yang menaungi kegiatan perfilman nasional. Ini masalah serius yang perlu ditangani dengan segera. Produser sekaligus sutradara kenamaan Nia Dinata bahkan melontarkan wacana lewat media sosial untuk melaporkan pihak-pihak terkait ke KPK.
Sutradara Andibachtiar Yusuf juga tak tinggal diam. “Buat gue ini menunjukkan bahwa banyak dari kita yang tidak paham bahwa film itu produk budaya dan alat propaganda ampuh. Orang masih saja beranggapan bahwa semua ini hanyalah kerjaan selebriti penuh hura-hura dan apa yang kami kerjakan adalah hal tak penting! Mungkin menjadi hal tak penting karena apa yang kami kerjakan tidak termasuk dalam 9 barang kebutuhan pokok. Makanya selalu ada yang merasa bahwa bepergian ke festival film apalagi ke luar negeri macam Jerman adalah kerjaan haha hih. Semua orang bahkan yang tak pernah kami tahu siapa jadi merasa berhak untuk ikut merayakannya tanpa merasa perlu bersimpati pada mereka yang sebenarnya sudah bekerja keras untuk melakukan sesuatu yang riil dalam pekerjaan ini,” demikian sutradara ‘ Hari ini Pasti Menang’ itu mengkritik panjang-pendek.
Pascakisruh ini ramai dibicarakan publik, Pimpinan Delegasi sekaligus Direktur Pengembangan Industri Perfilman Armein Firmansyah melalui percakapan lewat telepon pada Selasa kemarin menyatakan dirinya tak jadi berangkat ke Berlin. Ia juga memberi jaminan bahwa delegasi yang akan ditugaskan memang berkompeten di bidangnya. “Terima kasih atas dukungan saya berangkat, tapi saya sudah memutuskan tidak berangkat. Saya dan PPFI sudah pasti menunjuk orang pasti berkualitas, apalagi ada Pak Manoj (Punjabi) dengan biaya sendiri (berangkat ke Berlin),” ujarnya. Armein Firmansyah kali ini sepertinya memang “ketangkap basah”. Dan, walaupun sempat berkelit bahwa nama-nama yang tertera pada dokumen hanyalah baru berupa usulan, saya rasa semua orang juga tahu bahwa itu usaha untuk “ngeles” saja; masih usulan kok sudah ditandatangani Sekjen Ukus Kuswara!
Tentu saja, semua ini tak sesederhana persoalan delegasi itu jadi atau tak jadi berangkat ke Berlin; ini persoalan mengapa dan siapakah sebenarnya nama-nama yang dimasukkan dalam daftar itu. Di negeri ini industri film jadi rebutan banyak pihak, bukan untuk didukung atau dibuat maju, tapi untuk dieksploitasi demi keuntungan segelintir orang. Di negeri ini pejabat yang bertugas menangani kesenian khususnya film tak tahu dan tak mau tahu, dan tak mau belajar bahwa film adalah seni bernilai tinggi yang semestinya diperlakukan dengan sungguh-sungguh, dibina, dibentuk, didukung hingga tercipta lingkungan perfilman yang tak hanya dapat menyejahterakan para pelaku industrinya, tapi juga menyejahterakan bangsa. Tak usah jauh-jauh melihat kemakmuran industri film di Amerika, lihatlah Korea Selatan misalnya.
Di negeri K-Pop itu pemerintahnya bahkan punya lembaga sendiri yang mengurusi film bernama Korean Film Council (KOFIC) yang penyelenggaranya berada di bawah Kementrian Budaya, Olahraga dan Turisme. Kebanyakan anggota KOFIC adalah para profesional di industri film, bukan pejabat yang didapatkan dari hasil lobi-lobi KKN, tes CPNS yang ribet namun tak berkorelasi sama sekali dengan dunia film. Bukan. Di negeri ginseng itu, pejabat-pejabat KOFIC tak bermental “jalan-jalan gratis dan belanja-belenji ke luar negeri”. KOFIC bahkan sering ikut mendanai produksi film nasional mereka, dengan investasi bisa sampai 60% dari total biaya, sisanya biasanya didapatkan dari perusahan-perusahaan raksasa semacam Hyundai dan Samsung. Film yang didanai pemerintah ini tak dibebani embel-embel “inspiratif”, harus begini dan begitu melambangkan nilai-nilai moral bangsa dan sebagainya. Melainkan, film-film epik kolosal fantasi, drama, hingga thriller bunuh-bunuhan. Penonton memenuhi bioskop, uang berputar secara sehat dalam industri film mereka.
Dan, kini, dunia mengetahui kehebatan mereka. Pariwisata Korea selatan melonjak, ekonomi negara meningkat, berkat film dan industri pop lainnya seperti musik, komik, game, dan lain-lain. Belajarlah dari itu, dan lebih baik anggaran dana bermiliar-miliar untuk jalan-jalan ke luar negeri itu dialihkan saja untuk investasi produksi film-film sineas Indonesia. Banyak dari mereka yang memiliki ide-ide cemerlang namun terkendala masalah pendanaan. Ini jauh lebih riil. Terungkapnya “skandal” delegasi ke Festival Film Berlin kali ini membuka mata kita semua, sekaligus cermin untuk melihat betapa coreng morengnya politik perfilman di negeri ini. Semua menjadi pelajaran, untuk tak terulang lagi.
Shandy Gasella pengamat perfilman Indonesia
(mmu/mmu)