Mozaik 17 Kata Sandi

Biru dan Keilana duduk terpekur bersebelahan. Di hadapan mereka, ada Riga yang duduk santai. Sangat berbeda dengan ekspresi Bu Tika. Wajah wanita cantik itu masam, terlihat kesal. Ia duduk dengan kedua tangannya terlipat di dada. Siap mengeksekusi kedua anak muda itu dengan tatapan tajam.

Oke. Sekarang Keilana tahu mata tajam Biru menurun dari siapa. Bahkan dingin dan gampang emosiannya…. Tapi ayolah! Itu tidak penting sekarang! Keilana harus lebih memikirkan tentang semburan kemarahan dari istri Pak Danu itu.

“Dua puluh satu tahun saya membesarkan Biru. Nggak pernah sekalipun saya mukul Biru.”

“Ayah ngebesarin saya 18 tahun juga nggak pernah nyiksa-nyiksa saya, Tante,” sahut Keilana dengan bibir mengerucut. Ia melirik jengkel ke arah Biru. “Biru malah udah sering jahatin saya. Yang tadi belum ada apa-apanya dibanding apa yang Biru lakuin ke saya.”

Wajah Bu Tika kian mengeras.

“Kamu ini nggak ada sopan santunnya, ya!” ucapnya muntab.

Keilana membisu.

“Suami saya sudah bawa kamu ke sini. Tau dirilah kamu! Jangan bawa pengaruh buruk buat anak saya!”

Riga menyentuh bahu ibunya. “Ma, udah. Keilana nggak sepenuhnya salah kok.”

“Kenapa kamu malah bela anak ini?” balas Bu Tika menunjuk Keilana. “Mama begini juga demi kebaikan kalian. Mana ada ibu yang tega lihat anaknya dijambak-jambak?”

Belum tau aja kelakuan anak lo gimana, batin Keilana gregetan.

“Soalnya mama nggak tau gimana Biru ngerjain Keilana. Mereka emang sering berantem,” tutur Riga akhirnya speak up. “Ini masih normal, Ma. Biarin ajalah. Kei paling beraninya jambak-jambak doang kok. Nggak bakal dia sampe bikin Biru mati. Lagian Biru juga pasti bisa bela diri sendiri. Liat aja tuh, badan Kei aja kurus begitu. Kurang gizi. Disentil dikit juga pasti kebawa angin. Wuzzzzz….”

Kalimat terakhir Riga membuat Keilana melotot. Namun buru-buru Riga mengerlingkan matanya. Isyarat jika Keilana sebaiknya diam saja dan jangan marah. Sementara itu, Bu Tika masih bertahan dengan posisi mengintimidasi seraya memandangi Biru dan Keilana bergantian.

“Kalau memang kalian musuhan, kenapa keluar berdua tengah malam?”

“Emang yang musuhan nggak boleh baikan?” Biru yang sejak tadi diam akhirnya angkat bicara. Ia bangkit. “Udahlah. Nggak penting banget bahas ginian. Biru ngantuk.”

“Mau ke mana kamu?”

“Tidur,” jawab Biru singkat. Ia mengalihkan pandangannya pada Keilana. “Lo juga. Tidur lo. Besok pagi gue nggak mau nungguin lo kalo kesiangan.”

Keilana mengangguk cepat. Diikutinya langkah Biru yang meninggalkan Bu Tika dan Riga. Beberapa detik setelahnya, Riga ikut-ikutan pergi ke kamar. Tidak ada penahanan dari wanita cantik itu, tapi percayalah, ia tengah menahan kekesalan. 

“Biru,” panggil Keilana ketika Biru akan berbelok ke kamar.

Langkah Biru terhenti.

“Tadi lo bilang soal baikan. Jadi… kita udah baikan nih?” tanya Keilana pelan.

“In your dream.”

Bibir Keilana mengerucut. Setidaknya ia paham kosakata bahasa Inggris yang itu. “Ya udah. Gue bakal tetep tidur kalo gitu….”

Alis Biru bertaut.

“Soalnya kita cuma bisa akur di mimpi,” sambung Keilana.

Sejenak, Biru terdiam. Kemudian ia mengangguk-angguk sambil berkata, “Selamat bermimpi. Jangan lupa bangun dan hadapi kenyataan.”

Satu kalimat penutup yang menohok ulu hati. Keilana ingin marah, tapi sialnya ia tidak bisa marah untuk perkataan itu. Faktanya, kenyataan memang harus dihadapi, sepahit apapun itu. Ia menghela napas, lalu memasuki kamar. Baru saja akan meletakkan ponsel, benda itu bergetar.

Ada pesan dari Riga.

Eh, tapi…

“Loh? Kok pake kata sandi?” bingung Keilana.

Ia mengetik kata KEILANA. Standar karena hanya itu yang terpikir oleh otaknya yang polos. Hasilnya? Tentu saja gagal. Lagipula sejak awal, ia tidak memasang password di ponselnya. Terang saja sekarang ia kebingungan. Tidak paham apa yang sedang terjadi.

“Henpon gue kenapa sih…. Kok gini???”

Di tengah kebingungan pemiliknya, benda itu kembali bergetar. Sebuah panggilan dari Biru membuat alisnya bertaut. Tumben….

“Halo.”

“Kalo butuh password, tanya gue.”

Tuuuutttttt….

Panggilan berakhir sebelum otak Keilana berhasil memproses kalimat singkat itu. Ia bengong. Namun beberapa detik setelahnya, ia baru menyadari sesuatu….

Tadi kan gue nggak bawa henpon!

♪♫♪

“Hari ini Keilana pulang sama gue.”

Tadi pagi—ketika sarapan—Riga mengatakan itu pada Biru. Alhasil, sore itu ponsel Keilana penuh dengan pesan dari Riga yang tidak terbaca. Bagaimana mau baca? Password ponsel saja ia tidak tahu! Keparat memang si Biru itu!

“Eh, gue duluan, ya,” ucap Keilana membereskan buku-buku

“Mau ke mana lo?” tanya Dian heran.

“Ada janji sama Kak Riga. Dadah.”

Gadis itu melesat keluar kelas. Lucky, ternyata Riga sudah berdiri beberapa meter dari sana. Pemuda itu tersenyum manis dengan matanya yang menyipit.

“Chat gue nggak dibaca nih?” tembaknya tanpa basa-basi.

“Aduh, Kak…. Maaf,” sahut Keilana menggaruk kepala yang tidak gatal. Ia melanjutkan, “Kita mau ke mana emang?”

“Ngamen,” jawab Riga singkat.

“Hah? Sekarang?”

“Iya dong. Gitarnya udah gue bawa tuh di mobil.”

Keilana melongo. “Kak, seriusan mau ngamen?”

“Iyaaaa….”

“Ngamen di mana? Jangan ngambil rezeki pengamen lain loh, Kak.”

Pertanyaan sekaligus pernyataan itu membuat Riga berpikir sambil memegang dagu. Lambat laun, ia tersenyum sembari meletakkan telapak tangannya di puncak kepala Keilana. Gadis itu mengerjap bingung.

“Ngamen di tempat lo yang biasanya. Oke nggak?”

Keilana mengangguk saja meskipun masih tidak mengerti dengan jalan pikiran seorang Auriga Kaivan. Unik. Seorang anak yang sangat berkecukupan malah ingin mengamen. Buat apa? Bersenang-senang? Sepanjang perjalanan, ada banyak hal yang mengisi pikirannya. Mulai dari alasan kenapa Biru mengaktifkan password di ponselnya hingga Riga yang ingin mengamen. Kalau saja Riga tidak bertanya arah, pasti sedari tadi ia membisu hingga tempat tujuan karena overthinking.

Riga mematut dirinya di kaca mobil. Berbekal sebuah gitar dan topi hitam, ia turun dari mobil. Terlalu mencolok dan modern untuk ukuran seorang anak jalanan. Saat kakinya menapak tanah, semua mata seakan tertuju padanya. Terlampau berkilau. Shining shimmering splendid.

“Keren kan gue?” tanya Riga terkekeh-kekeh.

Keilana tersenyum. Sejujurnya, Riga tidak memerlukan validasi dari siapapun. Dia tampan dan keren adalah mutlak, bukan relatif lagi.

Dan dimulailah aksi mengamen kedua manusia itu. Riga itu seperti seorang profesional. Setidaknya di mata Keilana. Bagaimana bisa seseorang yang tidak pernah mengamen bisa begitu luwes tampil di jalanan begitu? Apakah di masa lalu, Riga adalah seorang musisi jalanan yang kemudian bereinkarnasi menjadi anak konglomerat di kehidupannya yang sekarang? Well, sungguh imajinasi yang tidak berbobot di tengah jalan.

Plukkk!

Seseorang menepuk bahu Keilana ketika sedang menunggu lampu merah.

“Kei! Yey baru keliatan, dari mana?” 

Sontak Keilana menoleh. Matanya membulat jenaka saat melihat sosok waria berbedak tebal dan bergincu merah menyala itu.

“Kak Yantiiii! Apa kabar?! Kangen ih!”

“Eimmm…. Yey kemandoseee!”

“Gue sibuk kuliah. Maaf ya belum sempet main.”

Yanti tersenyum genit sebelum matanya beralih fokus pada Riga. Ia berbisik malu-malu pada Keilana. “Indang sapose? Capcay yeussss.” 

“Oh, kenalin ini Kak Riga. Dia kakak kelas gue di kampus.”

Halileo, Riga…. Ganteng lho kayak oppa Korea. Hihihi.”

Cekikik dan lirikan malu malu maut Yanti membuat bulu kudu Riga merinding. Ada sedikit hal yang ditakuti Riga dan salah satunya adalah waria. Sialnya, ia tidak tahu kalau pergaulan Keilana di jalanan terlalu luas hingga punya teman seorang waria berbedak satu sentimeter. Ia beringsut, mundur teratur sebelum Yanti mendekat.

“Tekotek eimm,” tawa Yanti menyadari ketakutan Riga. “Akika capcusss yeusss. Mewong mangkalitaaaa. Byeee.”

“Dadah…,” balas Keilana tersenyum.

“Gila. Unik juga temen-temen lo,” komentar Riga sepeninggal Yanti.

“Ya ginilah jalanan, Kak. Sama-sama berjuang cari makan, jadi saling kasih semangat.”

“Takut gue.”

Keilana menahan tawa. “Kakak takut sama waria?”

“Aselik! Bukan lagi,” sahut Riga  bergidik. “Sebenernya lebih ke trauma sih. Gue nggak mau cerita. Merinding kalo inget kejadiannya.”

“Tapi nggak semua waria kayak gitu kok, Kak.”

“Iya, gue tau. Tauuu banget kalo nggak boleh menyamaratakan. Karakter orang pasti beda-beda, kan. Cuma ya… gimana lagi? Namanya juga udah terlanjur trauma.”

“Eh, Kak!” Keilana menunjuk ke arah lampu lalu lintas. “Udah merah tuh. Yuk.”

Riga dan Keilana kembali bersemangat turun ke jalan. Sesekali kaca mobil-mobil di sana turun, lalu pemiliknya sibuk mengagumi dan memuji ketampanan Riga hingga melontarkan gombalan super cringe. Bahkan ada yang iseng mengambil video Riga diam-diam, lalu mengunggahnya di TikTok dengan caption bombastis seputar pengamen tertampan se-Indonesia.

Lebay memang.

Nyatanya, inilah dunia. Sulit untuk menafikan jika privilege untuk orang good looking memang benar adanya. Buktinya, Riga mendapatkan banyak uang saweran sore itu. Untungnya tidak ada pengamen lain yang mencari gara-gara. Oh, tenang saja. Mereka tidak akan memancing keributan karena alasan kuat. Pertama, ada Keilana di sana dan kebetulan itu memang tempat mangkal ia dulu. Kedua, Riga sudah berjanji akan memberikan semua hasil mengamennya pada mereka, karena tujuan ia mengamen bukan untuk uang.

“Kak, mau pulang jam berapa? Bentar lagi maghrib, nih.”

“Lo udah capek?”

“Enggak lah, Kak. Tapi aku ada tugas. Pulang, yuk.”

Riga mengangguk sambil menyampirkan gitarnya di pundak. Setiba di mobil, ia menyambar air mineral dan menenggaknya sebanyak mungkin. Pipi pemuda itu terlihat memerah. Gosong. Memang dasar kulit orang kaya…, batin Keilana.

“Gue memang suka seni,” ucap Riga tiba-tiba sambil meletakkan botol. Ia menyalakan mobil sebelum menatap Keilana. “Tapi gue punya alasan kenapa nggak ambil jurusan seni.”

Oh, pertanyaan tempo hari akhirnya dijawab oleh Riga….

Keilana tidak berkata apapun. Ia menunggu kelanjutan cerita pemuda itu.

“Bisnis bokap gue lebih penting. Gue nggak pengen ngancurin apa yang udah diusahain bokap sejak nol. Gue ngerasain sendiri gimana dulu hidup susah.”

“Oh, Kak Riga pernah miskin?”

Riga tertawa pelan sambil melajukan mobil.

“Harta bokap gue nggak langsung jatuh dari surga, Kei. Ada usaha, keringat, dan airmata. Jadi gue udah janji ke diri sendiri buat melanjutkan usaha itu sesuai amanah bokap,” tutur Riga terhenti sejenak. Ia menghela napas dan menyambung, “Gue masih bisa ngelakuin hobi dan passion di waktu luang. Kalo ntar jenuh sama urusan kerja, gue masih punya seni buat penghiburan.”

Keilana mengangguk paham.

“Gue nggak se-idealis itu buat hidup dari passion. Realistis ajalah. Yang penting gue masih bisa enjoy sama keduanya. Semoga sih… soalnya gue juga belum 100% ngerti soal tanggungan kerjaan bokap.”

“Tapi Kak Riga seneng nggak ngelakuinnya?”

“Hmm, dibilang seneng sih, ga juga. Tapi dibilang sedih juga bukan. Gue bawa santai aja.”

Hening. 

Riga melirik Keilana yang memainkan ujung baju. Gadis itu hanya memandang lurus ke depan, tidak sadar jika kedua bola mata kecoklatan Riga mencuri pandang. Perlahan tapi pasti, laju mobil melambat sebelum akhirnya menepi di samping trotoar. Helaan napas panjang Riga terdengar, membuat kedua alis Keilana nyaris beradu.

“Kei….”

“Ya?”

“Liat gue deh,” pinta Riga pelan.

“Iya, ini lagi liatin. Kenapa?”

“Liat, yang lama….”

“Kenapa sih?”

“Liat aja dulu.”

Bodohnya, Kei manut saja dengan permintaan Riga yang aneh itu. Keduanya bertatapan dalam hiruk pikuk lalu lintas ibukota. Riga tersenyum lembut, memandangi setiap fitur wajah Keilana yang mungil dan menggemaskan. Semakin lama matanya lekat, kian sulit pula matanya teralih dari sana.

“Kei, lo ngerasain sesuatu nggak?”

Gadis itu menggaruk tengkuk. “Iya.”

“Apa?”

“Laper….”

“Yang lain? Emang hati lo nggak ngerasain sesuatu waktu ngeliat gue?”

Keilana terdiam.

“Emmm… kagum???” gumam Keilana sedikit ragu.

“Udah? Cuma itu?”

“Uhmmm….”

“Ya udah.” Riga menangkupkan telapak tangannya di puncak kepala Keilana. Ia kembali tersenyum. “Besok kita coba lagi, ya.”

“Coba apa sih Kak?”

“Coba biar lo ngerasain sesuatu yang kuat.”

“Hah? Maksudnya?”

“Biar lo jatuh cinta sama gue.”

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *