Mozaik 8 Petrikor

Sesekali suara dentingan sendok dan piring terdengar di dining room keluarga Danuwijaya Hadiyanto. Pria separuh baya itu melahap healthy oatmeal with fruit and nuts. Riga (si sulung) tengah menggiling soto daging sapi di dalam mulutnya. Sementara itu, Biru sibuk mengaduk-aduk susu cokelat yang hangat. Wajahnya terlihat masam. Sesekali ia melirik ke arah ayahnya, membuat rasa kesalnya semakin melejit naik.

“Mama kapan pulang?” tanya Pak Danu memecah kebisuan.

“Tanya langsung lah ke mama,” sahut Biru ketus.

Nada bicara Biru yang ketus itu membuat alis Riga terangkat. Ia berpandangan dengan ayahnya dengan heran.

“Nomor mama lagi nggak aktif.”

Biru tidak terlalu peduli dengan ucapan ayahnya. Dengan cepat, ia menenggak susu cokelat sebelum akhirnya berdiri dan meninggalkan dining room.

Sungguh….

Biru benci melihat ayahnya yang terlalu sibuk dengan sugar baby sampai-sampai lupa menanyakan kabar sang istri. Ia benar-benar tidak habis pikir, dari mana sang ayah bisa mengenal Keilana? Yang membuatnya lebih tidak mengerti lagi, kenapa selera ayahnya begitu buruk?! Ada ribuan wanita yang lebih mulus, cantik, dan bertubuh menggiurkan. Kenapa harus Keilana yang dipilih ayahnya?!

Ia tidak suka. Benci hampir segalanya yang ada di rumah ini.

Pertama, sang ayah dengan kesibukannya dan sugar baby.

Kedua, ia tidak suka dengan kelakuan ibunya yang terlalu sering menghabiskan waktu dengan teman-teman sosialitanya. Arisan lah, traveling lah, apalah…. 

Ketiga, ia tidak suka dengan Auriga Kaivan yang menurutnya terlalu baik pada semua orang dan mudah dimanfaatkan. Ia tidak mengatakan kebaikan Riga itu palsu. Iya, benar adanya Riga sebaik itu. Tetap saja Biru benci padanya, terutama jika mengingat masa lalu.

Sebenarnya, hampir segala hal itu salah di mata Biru. Ia mudah marah untuk hal sepele. Jadi jangan ditanya lagi bagaimana perasaannya soal dunia gula-gulaan yang Zara ungkapkan. Video yang dikirim Zara tadi sore benar-benar membuatnya muak setengah mati dengan sang ayah dan Keilana. Rahangnya mengeras. Tangannya mengepal. Rasanya ia tidak sabar menantikan hari esok. Membayangkan Keilana menderita esok hari saja sudah membuatnya sangat antusias.

Pikiran jahat Biru terdistraksi oleh sebuah kilatan yang tampak dari jendela kaca. Baru saja akan menutup tirai jendela, tiba-tiba suara gemuruh keras menghantam langit Jakarta. Cepat-cepat ia melesat ke ranjang dan menutupi tubuh hingga kepalanya dengan selimut.

Di waktu yang sama, suara derap langkah terdengar mendekati kamarnya.

“Biru.” Riga membuka pintu dengan wajah khawatir. “Lo nggak apa-apa?”

Adiknya tidak menjawab.

“Gue masuk, ya?” izin Riga.

“Nggak.”

Riga menghela napas.

“Oke,” ucapnya menutup pintu pelan-pelan.

Hujan mulai deras. Aroma petrikor yang lembut menyapa penciumannya. Biru meringkuk di dalam selimut putih tebal. Ia terdiam sambil memikirkan rencana untuk besok. Lama kelamaan, mata tajam itu menutup. Biru tertidur dengan amarah di dada dan mimpi yang membuatnya mengigau sedih. Ia menangis dalam tidurnya. Meraung-raung di kegelapan malam dan derasnya hujan hingga Riga diam-diam menyelinap—berusaha menenangkan Biru.

♪♫♪  

Hari ini Keilana tidak peduli pada hukuman. Sejak ia tahu Biru tidak masuk, ia merasa rantai tak kasat mata di lehernya melonggar. Kalau bisa, ia ingin mengadakan syukuran karena hari ini terbebas dari detensi. Kebetulan ada satu hal yang sangat ingin ia lakukan sejak awal masuk: mengunjungi perpustakaan. Nah, inilah waktunya untuk menjamah tempat itu.

Pukul 3.14 pm.

Ruangan itu cukup sepi. Tidak banyak manusia yang tertarik menghabiskan waktu di sini. Keilana tersenyum tipis. Ia suka suasana tenang begini. Dengan hati-hati, ia meletakkan buku di meja dan duduk manis di kursi. Wajahnya antusias membuka lembar buku berjudul The 7 Habits of Highly Effective People” versi bahasa Indonesia itu. Lambat laun, ia diam. Larut dalam dunia baru dalam buku itu.

“Bacaan lo oke juga,” ucap seseorang.

Refleks, Keilana mengangkat kepalanya. Matanya hampir keluar saat mengetahui Riga telah duduk di hadapannya dengan senyuman manis. God….

“Kemaren sibuk, ya? Telpon gue nggak diangkat,” sambungnya to the point.

Buru-buru Keilana menguasai diri.

“Iya, Kak. Aku beresin ruangan organisasi. Maaf,” ucapnya berbohong.

“Kok lo yang beresin ruang itu? Kan ada cleaning service.”

“Nggg….” Keilana mengelus tengkuknya. “Itu hukuman sisa ospek, Kak.”

“Siapa yang nyuruh?”

“Biru. Eh, Kak Biru maksudnya.”

Mendadak Riga tak bersuara. Wajahnya yang tadinya lembut, mendadak berubah serius. Untuk beberapa detik, ia menatap Keilana tanpa kata hingga gadis itu salah tingkah sendiri.

“Mulai hari ini, lo nggak usah lanjutin hukumannya,” pinta Riga serius.

“Nggak bisa. Ntar aku makin dihukum sama Kak Biru.”

“Ikutin kata gue. Nggak usah dengerin Biru. Gue lebih senior di sini.”

Keilana menunduk sambil memainkan lembaran buku.

“Kak… ummm… aku minta maaf ya soal omonganku tentang Kak Biru.”

“Kenapa minta maafnya ke gue?”

“Kan Kak Riga kakaknya,” sahut Keilana pelan sambil menyengir kecut.

“Oh, lo udah tau? Minta maafnya ke Biru aja gimana?” goda Riga yang membuat mata Keilana membesar. Sebelum gadis itu menyahut lagi, Riga berkata, “Nggak usah minta maaf juga gapapa sih. Emang Biru orangnya gitu. Gue sangat maklum kenapa orang nganggep dia kayak setan.”

Mata Keilana mengerjap.

Dengan sikap Riga yang baik dan begitu menenangkan hati, ia makin bertanya-tanya. Bagaimana bisa sang kakak beradik itu memiliki sifat bak kutub utara dan selatan? Jauh. Saling bersebrangan. Kalau bukan karena fisik yang sama-sama tampan dan sedikit mirip, demi apapun, Keilana tidak akan percaya keduanya saudara kandung. Eh, apa mungkin mereka memang saudara tiri? Who knows, kan?

Keilana menutup bukunya. “Aku duluan ya, Kak.”

“Mau ngamen?”

Tawa kecil Keilana pecah. Ia mengibaskan tangannya. “Nggak, Kak. Ada kelas.”

“Oh.” Riga mengangguk. “Ntar gue ke tempat lo, ya?”

“Heh? Mau ngapain?”

“Mau latian gitar sama lo. Emang lo sibuk?”

“Lumayan. Mau belanja, beberes, sama siapin stok makanan.”

“Malem deh gue ke sana. Ntar gue kabarin.”

“Oke deh, Kak,” ujar Keilana melambaikan tangan. “Aku duluan, ya.”

Gadis itu meninggalkan perpustakaan. Sejujurnya, kelas yang ia maksud masih 45 menit lagi. Tapi rasanya ia belum ingin bicara terlalu jauh dengan Riga hari ini. Ingin sekali ia memukul mulutnya sendiri. Serius. Ia masih merasa malu dengan kalimatnya waktu itu. Hhhh….

Bukannya menuju kelas, ia meneruskan langkahnya menuju lantai paling atas. Kata Dian, ia harus mencoba melihat pemandangan dari rooftop. Konon katanya, di sana sepi tapi indah. Beberapa lantai di atas memang masih kosong. Karena itu, jarang ada orang yang ke lantai atas. Diam-diam Keilana mengalihkan tujuannya. Lagipula, untuk apa ia menunggu seperti orang bodoh di depan kelas?

Angin sejuk berembus. Menerpa wajah manis Keilana yang hanya berbedak tipis dan berlipstik natural—itu ulah Dian yang risih melihat wajah lusuhnya. Rambut panjangnya menjuntai dengan helaian yang berdansa dengan angin.

Keilana tersenyum. Dian benar. Di sini segar dan indah.

Ia berjalan menuju tembok pembatas. Berpegangan di sana, kemudian memandang lepas ke area kampus. Pepohonan rindang menghijaukan kampus Universitas Garuda. Di beberapa dahan, bertengger sarang burung yang membuatnya tersenyum.

“Pantesan mahal banget, bagus gini,” gumamnya.

Dari atas sini, ia bisa melihat sosok semampai Zara yang berjalan bersandingan dengan Jeno. Melihat kecantikan Zara membuat Keilana serasa ditampar kenyataan. Kenyataan bahwa gadis itu sangat cantik, elegan, dan berkelas. Kenyataan bahwa ia tidak ada apa-apanya dibandingkan kakak tingkatnya itu. Ia merasa malu sudah sempat berpatah hati ria perkara Biru dan Zara. 

Bisakah ia menarik kembali waktunya yang habis untuk patah hati?

Bahkan untuk sekadar patah hati pun, ia merasa tidak layak….

“Hhhh….”

Keilana menghela napas.

“Kei…. Udah dong! Udah dijahatin kayak gitu masa masih suka juga?! Biru terlalu jahat buat lo! Sadar, Keilana!” racaunya berlagak mengingatkan diri sendiri.

“Biru juga nggak bakalan mau sama lo.”

“Nah, iya! Be—“ sambar Keilana tiba-tiba terdiam. Seseorang menyahut ucapannya! Tanpa pikir panjang, ia berbalik sambil berkata, “Eh? Siapa ya—HMMPPHHH!!!”

Teriakan Keilana tertahan oleh bekapan tangan. Belum sempat ia berbalik, tubuhnya didekap kuat dari belakang, lalu diseret ke satu ruangan kosong tak ber-CCTV. Matanya dan bibirnya ditutup menggunakan kain. Sementara itu, tubuhnya diikat pada sebuah kursi. Semua terjadi begitu cepat sampai-sampai ia tidak tahu bagaimana wajah orang jahat yang tega menculiknya saat ini.

“HHMMPPPHHH!!! HMPPHHHH!!!” teriak Keilana.

Tidak ada yang peduli. Dua orang pemuda yang menculiknya itu hanya tertawa puas.

“Udah. Lo nggak usah takut. Nggak bakal gue bunuh.”

“HHHMMMPPPHHHH!!!”

“Kok bisa sih orang ginian masuk kampus kita?”

“Mana gue tau, Ngab. Ngerusak nama kampus aja.”

“HHHMMMMMMPPHHHH!!!!!!” Keilana semakin murka.

“Eh, kalo nggak ada duit, lo nggak usah belagu masuk kampus ini. Gila lo ya, sampe jadi simpenan orang cuma buat gengsi,” oceh pemuda berambut cepak itu.

“HHHHHHMMMMMPPPPPHHHHHHHH!!!!!!!!”

Byurrrr!

“HHHHMMMPPPPPPPHHHH!!!!”

Tubuh Keilana basah. Kali ini bukan air, tapi telur. Kedua pemuda tengik itu sengaja menggunakan satu kilo telur yang dituang di dalam botol untuk ditumpahkan ke kepala Keilana. Sudah? Hanya itu? Oh, tentu tidak, Pemirsa….

Mereka menaburkan gula halus ke tubuh lengket Keilana.  Sontak gadis itu berteriak lagi. Dan, yaaa percuma. Teriakannya tertahan. Tidak akan ada yang mendengar.

“Lo kebayang nggak lengketnya?”

“Najis!”

Lalu keduanya tertawa-tawa puas. Tapi… oh, mereka belum berhenti. Penderitaan Keilana masih berlanjut. Seperti sedang membuat adonan kue, keduanya menghujani Keilana dengan coklat bubuk dan tepung roti.

“HHHHHMMMMPPPPHHHHH!!!!”

“Tinggal dimasukin oven nih,” tawa si cepak.

“Anjir, gue jadi laper ngeliat coklatnya.”

“Yodah, cabut. Gue juga laper.”

“HHHHMMMMPPPPHHHHHHH!!!!”

Pemuda-pemuda tengik itu saling bertatapan.

“Mulutnya dibuka ajalah. Kesian anak orang. Ntar mati,” ucap pemuda berkacamata.

Terlalu berisiko meninggalkan Keilana dalam kondisi mulut dan mata yang tertutup. Seiseng-isengnya mereka, sisi kemanusiaan itu tetap ada. Dan yang terpenting adalah mereka tidak ingin berurusan dengan hukum. Akhirnya, berkat kemurahan hati salah satu pemuda tengik itu, kain di bibir Keilana dilepas. 

“BANGSAAAATTTTTT!!!!” 

Pekikan Keilana menghantam gendang telinga para pemuda tengik itu.

“GUE SALAH APA?! SIMPENAN?! SIMPENAN APAAN ANJIR?!!!!” lanjut Keilana murka. Suaranya melengking di segenap penjuru ruangan.

“Heh! Mau dibekep lagi lo?!” bentak si cepak.

“AWAS LO YA! GUE TANDAIN SUARA LO LO SEMUA!”

“Terus lo mau ngapain? Nuntut kita? Sanggup lo nyewa lawyer? Buat idup aja lo jual diri,” sahut pemuda berkacamata sinis. “Level lo bukan di sini. Kalo aja lo kuliah pake jalur bener, gue nggak akan sekesel ini sama lo.”

“JUAL DIRI??!! SIAPA YANG JUAL DIRI???!!!”

“Udahlah. Nggak bakal ngaku dia,” sambar si cepak memberi isyarat pada kawannya. “Gue laper. Ayo cabut.”

“HEHHHH!!!! LEPASIN GUE BANGSATTTTT!!!! MAU KE MANA LO????!!! AWAS LO YA!!!!  KALO SAMPE GUE MATI, GUE BAKAL GENTAYANGIN LO PADA!!!!!”

Brakkkk!

Suara pintu terbanting menjawab lolongan murka Keilana.

“HEHHHH!!! BALIK NGGAK LOOO???!!!!”

Klik!

Hanya suara pintu yang terkunci menyahut dampratan itu. 

♪♫♪

Sudah hampir belasan kali Dian melirik jam tangan. Sekarang jam tujuh malam. Suasana kampus mulai sepi. Sialnya, batang hidung Keilana masih belum terlihat. Temannya itu melewatkan dua kelas hari ini—tanpa kabar. Ia pikir, Keilana mungkin sibuk dengan hukuman warisan masa ospek dari Biru. Tapi herannya, yang ia cari tidak terlihat juga di ruang himpunan mahasiswa jurusan. Tak hanya itu, ia pun mencari Keilana hingga ke ruang UKM musik. Nihil.

“Kei, angkat dong…,” gumam Dian mencoba menelpon.

Percuma. Puluhan kali ia menelpon, sebanyak itu pula panggilannya terabaikan.

Ia mulai curiga. Dengan tekad yang sekeras otot Ade Rai, Dian kembali mencari Keilana di tengah sepinya kampus. Ia naik kembali memasuki gedung. Beberapa orang masih berlalu lalang dan sibuk dengan kelas malam. Semakin lift-nya naik, ia merasa suasana jadi kian sepi dan mencekam.

“Anjir, sepi banget….”

Dian kembali mencari Keilana ke kelas meskipun ia sangsi. Ia berjalan pelan menyusuri lorong. Tiba-tiba….

Kreeeekkkk!

Suara pintu terbuka mengejutkannya. Sontak ia menoleh dan berseru, “Kei???”

Ia melongok ke ruangan asal suara. Kosong. Seketika bulu kuduknya meremang.

“Tolong….”

Sayup-sayup terdengar rintihan mengenaskan seorang perempuan. Melesak masuk ke indera dengar dan menusuk hati. Dian terpaku beberapa saat. Sejurus kemudian, ia menarik napas panjang sebelum akhirnya mengendap-endap mencari sumber suara.

“Aaaaa….”

Suara menyayat hati itu semakin dekat. Lutut Dian semakin goyah. Sialnya, ia penasaran. Ia menyingkirkan fakta bahwa nyalinya menciut. Semakin ia mendekati ruangan dekat rooftop, semakin suara minta tolong itu terdengar jelas.

Ia menelan ludah. Kembali menarik napas panjang dan mengetuk pintu.

“Halooo???”

“TOLONGIN GUEEE!!!”

Suara pelan itu mendadak melengking yang membuat jantung Dian nyaris meloncat. Wajahnya memucat sembari mengelus dada. 

“KELUARIN GUEEE!!!”

Suara itu… ia kenal!

“Kei?! Lo di dalem?!”

“DI?! BUKAIN PINTUNYA!!!”

“Iya! Tunggu!” sahut Dian cepat sembari menarik gagang pintu. Wajahnya memucat. “Nggak bisa, Kei! Pintunya kekunci!”

“Duh, gimana dong?!”

“Lo tenang, ya. Gue cari bantuan dulu di bawah. Tunggu!”

“Jangan tinggalin gue!!! Ada yang ketawa dari tadi!!!” teriak Keilana frustasi.

Krik… krik… krik….

Tidak ada sahutan. Rupanya Dian sudah terlanjur melesat pergi. Meninggalkan Keilana sendirian (lagi) di lantai atas itu. Gadis itu menghentak-hentakkan kakinya. Tubuh yang lengket dan kegelapan membuatnya merasa kian frustasi. Matanya masih tertutup kain dan tubuhnya masih terikat di kursi. Tidak banyak yang bisa ia lakukan selain berteriak, merintih, lalu berteriak lagi hingga suaranya habis.

Beberapa menit berlalu. Keilana berusaha mengabaikan suara tawa itu meskipun ia sudah ketakutan setengah mati. Bau pandan yang mulai menyapa lubang hidung membuat level frustasinya kian melejit.

Drappp! Drappp! Drapppp!

Suara langkah kaki yang bersahut-sahutan menyelamatkan sisi penakutnya.

“Kei, lo masih di dalem kan?!” teriak Dian.

“Ya masih lah! Kalo nggak, ngapain gue teriak-teriak?!” damprat Keilana kesal.

“Iya! Iya! Tunggu! Lagi dibukain nih!”

Setelah drama memilih kunci, akhirnya senyum pak satpam pun terbit. Dengan wajah sumringah, ia membuka pintu itu. Merasa menjadi superhero yang menyelamatkan seorang gadis dari penculikan. Dian menyerobot masuk sambil menyalakan lampu. Ketika segalanya terang benderang, mulutnya menganga.

“Lo diapain?!”

“Lepasin kain di mata gue!”

“Eh! Iya!” ucap Dian tersadar.

Gadis itu melesat membuka kain di mata. Sementara itu, pak satpam yang bernama David pun bergerak cepat melepas ikatan di tubuh Keilana.

“Pelan-pelan buka matanya,” pinta Dian khawatir.

“Mbak kenapa? Kok bisa gini?” tanya Pak David penasaran.

“Ada yang culik saya ke sini, Pak…. Saya juga nggak tau siapa. Tau-tau dikerjain gini,” keluh Keilana sambil membuka matanya perlahan. Silau. Ia menatap dirinya sendiri tidak percaya, “Anjir! Gue kotor banget!”

Dian menggeleng-geleng. “Kita pulang sekarang. Risih gue liat badan lo!” 

“Gue masih lemes…. Lo ada minum nggak? Gue haus udah tereak-tereak dari tadi sore.”

“Mbak, berapa lama dikunciin di sini?” selidik Pak David.

“Gatau, Pak. Pokoknya dari sekitar jam satu siang, Pak,” jawab Keilana menerima minuman dari Dian. Baru saja akan minum, tiba-tiba suara tawa dan aroma pandan itu tercium lagi. Refleks, ia berseru, “Nah, itu! Suara ketawa itu lagi! Mana bau pandan lagi! Serem!”

“Oh….” Pak David tertawa.

“Kok ketawa sih, Pak?!”

“Itu suara musang pandan, Mbak. Suara ketawanya emang serem. Mirip mbak kanalitnuk.”

Bibir Keilana membulat. Ia menghela napas lega. Akhirnya ia bisa minum dengan tenang.

“Kok bisa ada musang di kampus?!” heran Dian.

“Coba mbak wawancarain musangnya.”

“Nggak gitu konsepnya, Pak,” sahut Dian jengkel. Ia mengalihkan tatapannya pada Keilana yang super duper kacau. Kepalanya menggeleng-geleng. Miris. Ia yakin, ini ada hubungannya dengan Biru. Konon katanya, di kampus ini hanya Biru yang punya nyali melanggar sekian banyak aturan dan membuat orang lain menderita.

“Udah enakan?”

Keilana mengangguk. Ia bangkit dengan sempoyongan. Cepat-cepat, Dian dan Pak David memeganginya. Rupanya terikat di kursi berjam-jam membuat tubuhnya lemah.

“Lo bisa jalan?” tanya Dian lagi.

“Bisa kok. Bisa,” sahut Keilana mengangguk sok kuat. “Gue mau pulang.”

“Bersihin badan dulu deh mending.”

“Nggak mau di sini! Gue mau pulang.”

“Lo nggak malu diliatin orang-orang?” 

“Nggak. Ayo pulang. Pake mobil lo, kan?” rajuk Keilana berusaha jalan.

“Ya udah, iya! Kotor dah mobil gue,” gerutu Dian.

“Besok gue cuciin!”

Begitulah drama hari ini. Sama sekali tidak pernah terlintas dalam benak Keilana akan mendapat perlakuan seburuk itu di kampus. Sepanjang perjalanan singkat itu, ia duduk kaku di jok. Takut kalau keberadaannya mengotori mobil Dian.

“Lo tau siapa yang ngerjain?” tanya Dian memecah keheningan.

Keilana menggeleng.

“Kayaknya ini kelakuan Kak Biru deh,” tebak Dian.

“Lo yakin?”

Dian mengangguk. “Yakin 80%. Sisanya sih kemungkinan yang lain.”

“Tapi ngapain coba? Gue kan nggak salah apa-apa,” rutuk Keilana kesal.

Spontan Dian mendengus mendengar kalimat sok polos itu. “Menurut lo, nyembur muka Kak Biru itu nggak salah?”

“Kan dia duluan yang nyirem gue! Jadi salah Biru duluan! Ya kali gue nggak ngebela diri! Orang dateng-dateng digituin! Siapa yang terima?!” cerocos Keilana berapi-api.

Sahutan penuh dendam dari gadis itu membuat Dian menghela napas. Suasana kembali hening hingga mereka tiba di apartemen. Keilana sudah terlalu lelah dengan drama hari ini. Bicara pun ia sudah enggan. Bertemu dengan air segar dan kasur adalah dua hal yang paling ia butuhkan malam ini.

Namun sepertinya pertemuan dengan air segar dan kasur akan sedikit terhambat.

Langkah Keilana terhenti sebelum tiba di pintu apartemennya. Dian ikutan berhenti.

“Kak Riga?” gumam Keilana pelan.

Pemuda itu menoleh. Tadinya ia akan tersenyum, tapi senyum itu hilang saat melihat kondisi Keilana yang berantakan. Ia membenahi posisi tas gitar di pundaknya sambil menatap Keilana dari ujung rambut hingga kaki.

Ia mendekati Keilana dengan wajah serius. “Lo kenapa?”

“A—“

“Kei, lo buruan mandi. Telor di rambut lo keburu tambah keras,” sela Dian mendorongnya.

Keilana tidak banyak membantah. Demi apapun, ia benar-benar butuh mandi!

“Aku masuk ya, Kak. Malem,” pamitnya pelan pada Riga.

Dengan wajah tidak enak, ia memasuki ruangannya dan menutup pintu apartemen rapat-rapat. Tidak ada kalimat lain dari Riga. Ia tidak berusaha menahan Keilana. Ia hanya heran dan perlu tahu apa yang terjadi. Maka perhatiannya pun langsung teralih pada Dian. Gadis itu sengaja tetap di sana untuk menjelaskan semuanya.

“Ngomong sama gue aja, Kak.”

“Just explain. I’m waiting.”

“Bisa nggak lo ngajarin adek lo biar respect ke orang lain?”

“Biru?”

“Lo punya adek yang lain?” Dian balik bertanya. Ia menarik napas sejenak sebelum menatap Riga dengan wajah semakin serius. “Jujur, gue nggak ngerti apa masalah awalnya. Tapi please, ajarin ke dia kalo orang lain juga punya perasaan, punya hati. Dunia nggak cuma berputar di dia. Nggak semua hal harus sesuai kemauan dia.”

“Udah?”

“Iya. Cuma itu aja.”

“Gue ngaku, adek gue emang rese. Tapi lo nggak tau sebenernya Biru kenapa.”

“Gue emang nggak tau,” angguk Dian tersenyum hambar. “But that’s not an excuse to make other human beings suffer because of his stupidity and arrogance.”

Riga menarik napas panjang. “I knew. I’ve been trying for years. We need time to fix everything.”

Mata Dian menyipit. “So, what just happened?”

“Should I tell you everything?”

“No. Exactly no. Just tell something that I should know. Fair?”“Biru punya gangguan. Let’s say, dia sakit.”

1 thought on “Mozaik 8 Petrikor”

  1. Pingback: Manoj Punjabi - BiruLana

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *