Mozaik 13 Satu Atap

Keramaian acara pindah-pindah Keilana membuat Riga berubah pikiran. Itulah alasan utama kenapa akhirnya malam itu ia duduk di rumah Zara. Bertatap muka sembari menyesap jus apel yang tidak terlalu manis. Sialnya, Zara masih belum sampai di rumah. Sudah berulang kali Riga menghubunginya tapi nihil. Jadilah saat ini ia hanya bisa memandangi Dian yang tengah khusyuk dengan game. 

“Di,” panggil Riga.

“Hmm.”

“Nggak pengen ngajak gue ngobrol?”

“Nggak,” jawab Dian singkat sambil terus fokus pada ponsel.

Riga memutar otak. Mudah baginya untuk membuat pengalihan.

“Keilana udah pindah,” ucap Riga.

“Hmmm.”

“Keilana udah serumah sama gue.”

“HAH?!!!” pekik Dian melotot. Sedetik kemudian, ia kembali memekik, “YAH KALAH!”

“Tandanya lo udah harus berhenti,” tukas Riga merebut ponsel Dian dengan sangat cepat. Ia melanjutkan, “Sekarang dengerin gue.”

“Seriusan Kei tinggal sama lo?!”

Riga mengangguk pelan. “Bokap gue yang minta dia tinggal di sana. Tuh, lagi pindah-pindah, beresin barangnya di kamar. Dateng aja ke rumah kalo lo mau main sama Kei.”

“Kapan-kapan deh,” sahut Dian merebut kembali ponselnya. “Mau gue telponin Zara?”

“Nggak usah. Lo temenin gue ngobrol aja.”

“Mau ngobrol apa emang?”

“Apa aja.”

“Uhm….” Dian memutar otaknya sebentar. “Kok bisa Keilana tinggal sama lo?”

Riga menghabiskan jusnya sebelum bertutur. “Keilana itu anak sahabat bokap gue.”

“Wow…,” ucap Dian mengangguk-angguk. “Gue baru tau. Jadi dia masuk kampus kita gara-gara bokap lo? Terus semua fasilitas itu dari bokap lo?”

“Gue kira lo udah tau.”

“Walaupun gue deket sama Keilana, tapi gue nggak akan nanya hal personal kayak gitu. Kei juga nggak pernah cerita. Ya udah….”

Baru saja akan bersuara, pintu rumah terbuka hingga Riga dan Dian menoleh berbarengan. Yang ditunggu Riga telah tiba. Menyadari kakaknya sudah sampai, Dian angkat kaki dan masuk ke kamar. Ia tidak ingin terlibat pembicaraan pribadi soal kakaknya.

“Baru pulang?”

Pertanyaan Riga mengejutkan Zara. Mata kecoklatan gadis itu membesar.

“Gue tunggu lo di rumah, tapi lo nggak dateng-dateng. Jadi gue ke sini.”

Zara tersenyum kikuk sambil menghempaskan pantatnya di sofa. “Sorry, gue ada kuliah sampe sore. Terus tadi diajak Jasmine nongkrong. So, yeah…. Anyway, mau ngomong apa sih tadi pake minta video call segala?”

“Soal Biru. Itu kan yang lo mau tau?”

“Iya. Gimana?” tanya Zara. Nama Biru membuatnya lebih antusias.

“Gue udah bilang tadi. Lo lebih tau daripada gue.”

“Kalo gue tau, buat apa gue nanya lo Kak? Seriusan, gue bingung,” keluh Zara.

“Isn’t it too obvious?”

“Ehh? Apanya sih, Kak?”

“Do I need to explain more? It’s not necessary.”

Alis Zara nyaris beradu. “Wait…. I don’t understand. What do you mean?”

“That voice. I knew that’s your voice. You trapped Keilana to tell everything and sent it to Biru. You can’t fool me.”

“Loh? Kan maksud gue baik. Jadi ketahuan kan kalo Kei itu sugar baby-nya bokap lo.”

Riga menjentikkan jari. “See? You’ve admitted.”

“Iya. Oke. Gue emang sengaja,” aku Zara terang-terangan. Tenang dan santai.

“Kemaren gue ngobrol sama Keilana. Katanya, anak-anak di kampus nuduh dia jual diri,” tutur Riga. Ia mengangguk-angguk. “Jadi elo yang nyebarin kabar kalo Keilana jual diri?”

“Nggak lah! Bukan gue. Gue cuma cerita dikit sama temen segeng kok!”

“Tetep aja lo nyebarin kabar nggak bener.”

“Nggak bener gimana?! Udah jelas banget loh itu!” tepis Zara bersikeras. “Lo udah liat video bokap lo sama Keilana belom?”

“Udah,” sahut Riga tenang.

“Nah kan! Elus-elusan, makan bareng, shopping. Apalagi coba? Jelas banget, kan?”

“No. You don’t know the truth.”

“Then, tell me,” sambar Zara cepat. “And why are you so care about her?”

“It’s not about Keilana.”

“So?”

  “Listen—”

“I’m listening. Tell me everything.”

“Nggak semuanya, tapi gue bakal ngasih tau intinya dan lo jangan nyela gue. Pertama, Kei bukan sugar baby bokap gue. Dia bukan sugar baby-nya siapapun. Kedua, Kei itu anak sahabat bokap gue. Ketiga, alasan kenapa bokap gue manjain dia sangat masuk akal. Kei itu yatim piatu.”

“Oh,” komentar Zara melipat tangannya di dada. “Why’s everything about Keilana? I’m waiting for Biru’s part. That’s the only thing I wanna hear.”

“Gue tau, lo lebih dari pinter buat narik benang merahnya.”

“Yang gue denger dari tadi cuma soal Keilana. Jadi gimana gue bisa bikin konklusi?” ucap Zara memijat kepalanya. “For God’s sake, kenapa sih lo bela-belain apapun demi Kei?”

“Ini bukan tentang Kei, tapi tentang keluarga gue! Lo hampir ngancurin keluarga gue! Lo tau nggak?! Biru sampai benci ke bokap berhari-hari! Bokap nyokap gue sampai berantem gara-gara rumor murahan yang lo sebar!” sahut Riga dengan nada meninggi.

Kali ini tidak ada pembelaan diri. Zara membisu.

“Jadi paham kan kenapa Biru udah nggak peduli lagi sama lo?”

Zara masih terdiam.

“Bahkan Biru sebenernya nggak pernah peduli.”

Strike! Sungguh menohok ulu hati Zara. Tangan gadis itu mengepal. Tidak menyangka jika Riga bisa melontarkan ucapan semenusuk itu. 

“Jangan pernah nginjek kaki di rumah keluarga gue lagi selama hati lo masih dengki.”

♪♫♪

Keilana duduk di ruang makan dengan wajah kikuk. Ini adalah malam pertamanya dengan keluarga Pak Danuwijaya. Berkali-kali ia melirik wajah Bu Tika. Cantik. Sekarang ia paham darimana Riga dan Biru mendapatkan ketampanan paripurna seperti itu. Ayolah, lihat saja ayah dan ibunya. Ayahnya tampan dan gagah. Ibunya sangat cantik dan berkharisma. Pantas saja.

“Lho lho…. Keilana, kenapa malah bengong? Ayo makan,” ucap Pak Danu.

“Eh? Iya, Om….”

Keilana mengangguk cepat lalu memandangi makanan. Demi apapun, ia belum pernah makan malam semewah ini sebelumnya. Matanya berbinar-binar melihat wagyu steak di piring putihnya. Tanpa pikir panjang, ia mengambil daging itu dengan tangan kosong dan memasukkannya ke dalam mulut. Sontak yang lain memandangnya kaget.

“Rendangnya enak, Om. Cuma kurang pedes aja,” puji Keilana.

“Ah! Iya, hahahaha!” tawa Pak Danu kikuk. “Chef di sini memang jago masak.”

“Tapi Om, kok kita makan rendangnya nggak pake nasi?”

“Kamu mau pake nasi?”

“Mau Om,” angguk Keilana senang.

Setengah mati Riga menahan tawa melihat kepolosan gadis itu. Beda halnya dengan Bu Tika yang masih bersikukuh dengan tatapan dinginnya. Biru? Oh, si anak bontot itu… secara ajaib menutupi bibirnya dengan tangan. Betulan! Ia menahan tawa juga. Sejujurnya, ia ingin sekali menghina Keilana saat ini. Tapi tunggu! Biru masih ingin menikmati kebodohan gadis itu untuk jadi bahan bulian selanjutnya.

“Suka makanannya?”

“Suka, Om. Ini pertama kalinya saya makan rendang hehehe.”

“Makannya pakai garpu dan pisau,” kata Bu Tika dengan wajah kurang suka.

“Tapi saya biasa pakai tangan, Tante. Lebih nikmat.”

“Ya sudah, nggak apa-apa. Yang penting kamu sopan dan habiskan makanannya,” sela Pak Danu memberikan isyarat pada Bu Tika. Wanita cantik itu terlihat tegang karena menahan kesal.

“Kei,” panggil Riga akhirnya ikut bersuara. “Itu bukan rendang. Namanya steak. Kalau makan steak, lo harus pakai pisau sama garpu.”

Keilana mengerjap dengan pipi penuh makanan.

“Oh! Hahahaha!” tawa Keilana mendadak kikuk. Ia bangkit pelan dengan wajah memerah menahan malu. “Saya permisi dulu, Om….”

“Loh? Mau ke mana? Makananmu belum habis.”

“Mau cuci tangan, Om. Hehehe…,” jawabnya lalu melesat ke wastafel. Meskipun malu setengah mati, tapi ia pantang berhenti makan. Ia pun kembali ke meja makan dengan satu cengiran bodoh. Ia menatap makannya dan menggumam, “Pakai garpu sama piso.”

“Cara pegangnya gini, Kei,” jelas Riga menunjukkan tangannya. “Pisau di tangan kanan, garpu di tangan kiri. Tusuk dagingnya pake garpu, terus lo iris deh. Nah, baru lo makan.”

“Ahh….” Keilana mengangguk-angguk. “Makasih, Kak.”

“Norak,” gumam Biru sambil memotong steak.

Keilana merengut. “Gue kan nggak tau! Wajar dong diajarin!”

“Eits! Tidak boleh ribut di meja makan,” kata Pak Danu mengingatkan.

Tidak ada lagi keributan setelah itu. Hanya setelah itu, karena sesungguhnya Biru masih menyimpan baik-baik ide nakalnya untuk mengganggu Keilana. Tunggu saja tanggal mainnya.

1 thought on “Mozaik 13 Satu Atap”

  1. Pingback: Manoj Punjabi - BiruLana

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *