Mozaik 5 Bayi Gula

“Tumben hari ini lo nggak dihukum.”

“Jangan dong. Gue kan mau kuliah dengan tenang,” protes Keilana dengan bibir tidak lepas dari permen lolipop. “Untung ini hari terakhir orientasi.”

Dian terkekeh. “Eh, tapi lo hebat loh bisa dapetin tandatangan dua cowok itu.”

“Gue dibantuin kakak tingkat. Baik banget dia.”

“Hooo…. Hebat ugha you.”

Keilana tersenyum tipis. “Kalo nggak dibantuin Kak Riga, ga yakin gue bisa.”

“Lo dibantuin Kak Riga-nya langsung?!” pekik Dian tertahan yang membuat kening Keilana mengernyit. Kepalanya condong pada gadis itu, tentu saja dengan mata menyipit. Ia mengulang, “Serius lo? Lo dibantuin Kak Riga?”

“Iya. Kenapa gitu?”

“Hebat aja gitu, lo dibantuin orangnya langsung. Kok lo bisa kenal Kak Riga?”

Sorot mata Keilana terlihat bingung.

“Orangnya langsung? Maksudnya, Kak Riga itu anak pemilik kampus?” tanyanya sambil menggaruk tengkuknya yang tidak gatal.

“Loh? Lo nggak tau emang?” 

Gelengan Keilana menjawab keingintahuan gadis semampai yang tomboy itu. Percakapan yang isinya hanya pertanyaan yang bersahut-sahutan itu terhenti sejenak. Dian itu tersenyum miring menyadari kepolosan Keilana. Sejujurnya, ia tidak ingin mengatakan apapun. Ia masih ingin menikmati kepolosan teman barunya itu. Namun sebuah guncangan di lengan membuatnya berhenti tersenyum.

“Di! Beneran Kak Riga anak yang punya kampus?!” tanya Keilana tak sabaran.

Belum sempat Dian menjawab, guncangan itu terhenti. Keilana melepas cengkeramannya dan segera merogoh ponsel dari dalam tas. Nama ‘Pak Danu’ muncul di layar. Dengan kagok, Keilana menjawab panggilan itu. Gerakannya benar-benar terlihat seperti orang udik yang baru memegang ponsel.

“Halo, Pak Danu.”

Halo, Keilana. Kamu masih di kampus?” tanya Pak Danu dari seberang sana.

“Masih, Pak. Ada apa ya, Pak?”

“Bisa ketemu sekarang?”

Keilana mengangguk cepat. “Bisa, Pak. Bisa. Di mana?”

“Sekarang di depan kampus. Kamu ke gerbang. Cari mobil Alphard putih.”

“Iya, Pak.”

Klik!

Panggilan itu berakhir. Cepat-cepat Keilana menghabiskan lolipop dan membereskan barangnya di meja. Sementara itu, Dian menatap Keilana dengan curiga. 

“Gue cabut duluan. Ada janji. Dadaaah!” ucap Keilana sebelum Dian bertanya. Gadis itu melesat dengan wajah riang menuju gerbang. Meninggalkan Dian yang masih berkutat dengan satu pertanyaan di batok kepalanya. Tak lama kemudian, gadis semampai itu beranjak pergi membawa rasa penasaran bersamanya.

♪♫♪

Pak Danu dan Keilana terlihat baru saja keluar dari salah satu fashion store brand ternama. Di belakang mereka, terlihat satu bodyguard mengikuti dan membawakan sebagian belanjaan Keilana. Sepertinya Dewi Fortuna tengah tersenyum dan melimpahkan banyak keberuntungan bagi gadis itu. Buktinya, Keilana diajak makan ke salah satu restoran mahal setelah puas berbelanja. Sekarang ia sibuk dengan garpu yang penuh dengan creamy pasta. Itu suapan terakhirnya.

“Baju untuk kuliahnya cukup kan? Kalau butuh apa-apa, bilang.”

“Cukup. Kelebihan malah.”

Lelaki gagah itu tertawa renyah. “Bagaimana kuliahnya?”

“Lancar, Pak,” jawab Keilana tersenyum.

“Mulai hari ini jangan panggil ‘Pak’. Panggil ‘Om’ saja.”

“Jangan, Pak!” Buru-buru Keilana mengibaskan tangannya sambil menggeleng. Ia tidak setuju dengan permintaan aneh Pak Danu. Ia meletakkan garpunya. “Nggak sopan kalau saya panggil ‘Om’.”

“Nggak apa-apa. Kan Om yang minta. Kamu harus panggil ‘Om’, ya!” paksa Pak Danu.

Lagi-lagi Keilana menggeleng. “Saya nggak enak…. Jadi sok akrab.”

“Keilana tidak boleh menolak. Pokoknya, panggil ‘Om’. Paham, ya?”

Keilana terdiam sejenak. Berusaha memastikan pada dirinya sendiri bahwa tidak ada yang salah dengan semua ini. Pak Danu sendiri sudah tidak memperhatikan kelakuan atau jawaban gadis itu. Baginya, permintaan itu adalah sebuah keharusan yang pantang ditolak. Jadi apapun reaksi gadis itu, prinsipnya tetap sama: PANGGIL OM SAJA. Wajib. Pantang ditentang.

“Iya deh, Pak. Eh, Om!” Akhirnya Keilana membuka suara.

“Nah, gitu dong.”

Sebuah panggilan yang menerbitkan senyuman tipis di wajah Pak Danu. Beliau berhenti makan sebelum memandang gadis manis itu. Tiba-tiba tangan kanannya terulur, tepat mengarah ke puncak kepala Keilana. Satu elusan lembut cukup mengejutkan gadis itu. Namun ia bergeming dan ujung-ujungnya ikut tersenyum. Sentuhan di kepala itu mengingatkannya pada sang ayah. Membuatnya mendadak melankolis. Perasaannya tercubit.

Aku rindu ayah….

Satu perasaan yang hanya bisa dipendam dalam hati. Perlahan senyumnya meredup. Ia menunduk dengan mata berkaca-kaca. Ekspresi yang berubah drastis itu tidak membuat senyum Pak Danu ikut lenyap.

“Kenapa?”

“Kangen ayah…,” jawab Keilana pelan dengan suara bergetar.

Pak Danu menarik napas panjang. Berat…. Rindu yang paling berat adalah merindukan seseorang yang telah pergi untuk selamanya. Ini terlalu berat.

“Mau ziarah ke makam ayah kamu?”

Keilana mengangkat kepalanya. Ia batal menangis. “Sekarang?”

“Jangan ziarah malam-malam. Nanti kita dikira mau pesugihan.”

“Oh iya, lupa kalo udah malem, hehe….”

“Besok kita ziarah, ya. Om sekalian mau memantau pembangunan sekolah di sekitar sana. Om jemput di kampus besok.”

“Iya, Om.”

Creamy pasta itu sudah habis. Keilana mengunyah makanannya sembari melirik Pak Danu. Seumur hidup, baru kali ini ia bertemu dengan orang kaya sebaik beliau. Pak Danu benar-benar memperlakukannya dengan sangat baik. Tidak berlebihan kalau ia merasa dianggap seperti keluarga sendiri. Pria gagah itu benar-benar menepati janjinya untuk mengurus segala keperluan Keilana. Tidak hanya urusan perkuliahan, bahkan hingga tempat tinggal dan biaya hidup pun ditanggung sepenuhnya.

Pada titik ini, Keilana berpikir dalam.

Kelak, mampukah ia membayar jasa pria di hadapannya itu? Biaya kuliah saja sudah sedemikian mahal, tapi masih bisa-bisanya ia mendapatkan uang saku lima juta per bulan beserta sebuah apartemen dengan biaya jutaan per bulan.

Ikhlas kah, Pak Danu?

Jujur, Keilana takut jika kelak Pak Danu menagih balas budi. Ia tidak memiliki apapun selain dirinya sendiri dan rumah sepetak di slum area yang dibangun di atas tanah negara.

Keilana menelan creamy pasta terakhirnya dengan dada sesak. Ia meraih air mineral.

Sekaya apa sih Pak Danu?

Pertanyaan demi pertanyaan bermunculan dalam pikirannya. Ia ingin sekali menanyakan banyak hal. Namun ia tahan-tahan rasa penasaran itu. Yang ia tahu sekarang hanyalah kuliah dan belajar dengan baik. Semoga itu cukup untuk membalas kebaikan Pak Danu.

Keilana terlalu sibuk dengan perasaan dan isi kepalanya, sampai-sampai ia tidak tahu ada sepasang mata kecoklatan menatapnya dari jauh. Pemilik mata kecoklatan itu tersenyum. Tipis tapi terlihat licik.

♪♫♪

Langkah kaki Zara terlihat sangat terburu-buru ketika memasuki rumah. Tidak ada salam. Gadis cantik blasteran Jerman itu melesat menuju sebuah kamar. Rambut kecoklatannya berkibar indah seiring dengan lajunya yang tidak sabaran. Ia membuka pintu kamar dengan kasar.

“Dek?”

Tidak ada orang.

Ia mendengus kesal dan menutup pintu. Langkahnya masih tertahan di sana. Ia terdiam sejenak dengan wajah serius. Di detik selanjutnya, ia tersenyum sambil merogoh ponsel dari dalam tas Chanel kebanggaannya.

“Halo, Jeno?”

“Tumben nelpon?”

“Gue mau tanya dong.”

“Apaan?”

“Lo tau nggak Keilana dapet beasiswa karena apa?” selidik Zara.

“Setau gue sih beasiswa khusus dari rektor untuk anak tidak mampu. Bokapnya kan meninggal dibunuh orang. Sempet rame dulu. Gegara itu sih kayaknya. Kenapa sih emang?”

Bibir Zara membulat.

Nothing. Cuma rada bingung aja. Soalnya kampus kita kan udah lama tutup pendaftaran. Kok tau-tau dia nongol,” sahut Zara terkekeh.

“Oh, kirain apa.”

Thank you ya, No.”

“Yo.”

Begitu panggilan berakhir, Zara menggenggam ponselnya kuat-kuat. Dugaannya semakin menguat tentang Keilana. Pasti ada apa-apanya….

Zara tersenyum. Ia meninggalkan kamar sang adik dan menuju kamar pribadinya. Ia senang. Akhirnya ia mendapatkan kartu as seorang Keilana. Sebagai teman dekat sekaligus tetangga satu kompleks, ia merasa bertanggung jawab untuk memberitahukan penemuan briliannya pada Auriga dan Albiru. Ia tersenyum licik. Kekesalannya tempo hari akhirnya akan terbalaskan. Sebagai seorang gadis yang terobsesi untuk mendapatkan salah satu di antara Auriga atau Albiru, tentu keberadaan Keilana akan sangat mengancam.

Insecure?

Seharusnya tidak ada alasan bagi seorang Zara Karenina Neuser untuk insecure pada gadis macam Keilana. Secara fisik, ia terbilang sangat menawan dan diidolakan banyak mahasiswa. Bahkan di kampusnya sempat beredar tagline ‘harta, tahta, dan Zara’. Tapi entahlah… rasa insecure itu memang penyakit semua orang.

Blukkk!

Gadis itu membenamkan dirinya di pembaringan. Ia menatap ponsel, lalu mengetik sesuatu dengan lancar jaya di Whatsapp.

Zara Neuser

Biru, gue ada kabar penting.

Biru

Apaan?

Zara Neuser

Mending diomongin langsung aja deh,

Lo bisa ke rumah gue nggak?

Biru

GAK.

Zara Neuser

Galak amat.

Ya udah, gue yang ke situ.

Biru

Ganggu aja lo.

Zara Neuser

YA TERUS GIMANA?!

Biru

Gak gimana2. Gue ngantuk.

Zara Neuser

Cupu amat lo jam segini udah ngantuk.

Biru

Bacot

Zara Neuser

Bokap lo jalan sama Keilana.

Pake dielus-elus tuh kepala cewek.

Biru

Gak lucu.

Zara Neuser

Gue emang ga lagi ngelucu.

Gue baru tau kalo Kei itu sugar baby bokap lo.

Baru saja checklist biru terlihat, tiba-tiba panggilan dari Biru muncul di layar ponsel.

Zara tersenyum miring. Ia melempar ponselnya ke dekat bantal. Sengaja ia mengabaikan panggilan itu. Bukan karena takut akan kemarahan Biru. Oh, tentu tidak! Bukan soal itu. Zara adalah gadis berotak encer yang memiliki banyak rencana. Mustahil ia mendiamkan panggilan Biru tanpa alasan. Sebanyak apapun ponselnya bergetar, sebanyak itu pula ia mengabaikannya.

Panggilan itu terhenti.

Senyum Zara melebar. Kamarnya kembali sunyi. Sorot matanya menerawang pada langit-langit kamar. Ia merutuk dalam hati betapa sulitnya mendapatkan hati Riga ataupun Biru. Mungkin inilah momentum baginya untuk memulai gebrakan.

Tunggu saja…. Tunggu.

Pintu kamarnya terbuka dengan kasar. Zara hanya menoleh dengan wajah datar.

“Zara!” panggil Biru kesal. Ia mengunci pintu sebelum menghampiri Zara. “Bangun lo.”

“Nggak sopan lo ya banting-banting pintu.”

“Maksud chat lo apa? Jelasin ke gue sekarang!”

“Bokap lo jalan terus elus-elus kepala Kei. Gue baru tau Kei itu sugar baby bokap lo. Emang penjelasan gue di chat kurang, ya?”

“Lo jangan sembarangan ya kalo ngomong! Bokap gue bukan orang begituan! Lagian lo punya bukti apa?!” cecar Biru.

“Santai dong lo. Ntar yang lain denger, repot urusannya,” ucap Zara perlahan bangkit. Ia meraih ponsel dan mencari sesuatu di galeri. Dengan wajah malas-malasan, ia menjulurkan ponselnya pada Biru. “Nih. Lo liat sendiri videonya.”

Masih dengan urat yang menegang, Biru menyambar ponsel itu. Sorot matanya makin menyeramkan setelah melihat video itu. Rahangnya mengeras.

“Gue nggak sengaja ngegep mereka,” ucap Zara santai. “Sekarang rencana lo apa?”

Biru merogoh ponselnya dan memindahkan video itu ke ponselnya. Tanpa setahu Zara, ia menghapus file asli video itu sebelum melempar ponsel Zara ke ranjang.

“Jangan sampai kabar ini kesebar keluar.”

“Oke,” setuju Zara mengangguk-angguk. Ia tersenyum tipis. “Tapi ada syaratnya.”

“Apaan sih lo pake syarat-syarat. Udahlah, gue mau balik,” ucap Biru dingin dan melangkah keluar dari kamar.

“Jangan salahin gue kalo besok ada gosip bokap lo itu sugar daddy-nya Kei.”

Langkah Biru terhenti. Ia berbalik—masih dengan wajah dingin.

“Videonya udah gue hapus. Lo nggak punya bukti. Kalo lo nyebarin gosip, gue bisa nuntut lo atas tuduhan pencemaran nama baik. Ngerti?”

Bukannya gentar, Zara malah tertawa pelan.

“Itu bukan satu-satunya file, Biru…. Masa gue nggak punya back up buat kabar sepanas itu. Mending lo terima syarat dari gue deh daripada nama baik bokap lo yang dermawan itu ancur.”

“Mau lo apa sih?”

“Lo jalan sama gue. Lo jadi cowok gue.”

Biru terdiam dengan emosi yang meletup-letup di hati. Tanpa berkata apa-apa lagi, ia berjalan keluar kamar. Meninggalkan Zara tanpa keputusan apapun. Hatinya berkecamuk. Emosinya meluap-luap. Terus terang, ia sama sekali tidak percaya jika sang ayah memiliki sisi gelap seperti itu. Namun video tadi menghancurkan kepercayaannya.

Rahang Biru kembali mengeras.

Ia tahu siapa yang harus mendapatkan pelajaran atas ini semua.

KEILANA!

1 thought on “Mozaik 5 Bayi Gula”

  1. Pingback: Manoj Punjabi - BiruLana

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *